Namaku
Andini Rahayu, sekarang kelas 2 SMA di salah satu SMA negeri di Bogor. Ini
adalah minggu keduaku di kelas 2. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini aku
juga mengikuti OSIS. Walaupun aku tidak pandai bersosialisasi, tapi menurutku
dengan mengikuti OSIS aku akan bisa mendapat teman.
Pagi
itu Bu Sri wali kelas kami masuk ke kelas dengan membawa seorang siswi di
sebelahnya. Rambut panjang lurus, berkacamata. Dari pengalamanku mengobservasi
orang, gadis ini misterius, pintar dan mungkin akan sulit didekati. Tapi
seperti biasa, daya tarik anak baru itu kuat, jadi pasti banyak yang mencoba
mendekatinya. Hehe
“Namaku
Mika, senang berkenalan dengan kalian.”
Perkenalan
yang cukup singkat. Beberapa anak laki-laki mulai terlihat menggoda. Tapi, Mika
menanggapinya biasa saja. Membuat beberapa anak semakin penasaran. Berbeda
denganku, aku akan mencoba untuk tidak terlalu dekat, lagipula belum tentu
gadis cantik ini mau berteman denganku.
Saat
melewati bangkuku yang kebetulan berada dua baris di depan bangkunya ia
tersenyum padaku. Aku seperti melihat matanya berkaca-kaca. Aku tidak mengerti.
Sejujurnya aku belum pernah bertemu dengannya. Walau wajahnya sedikit familiar,
tapi aku yakin ini kali pertama aku bertemu dengannya.
“Dia
mirip denganmu kalau kamu pakai kacamata ya Din. Hehe” Yasi teman sebangkuku
menyadarkanku. Memang benar dia mirip denganku, sedikit mirip.
“Apanya
yg mirip? dia mah cantik Yas.” Kataku.
“Semuanya…
mungkin klo kamu nikah terus punya anak, anaknya mirip kayak gitu.”
“Hahaha
bisa aja…”
Yah,
bisa jadi begitu. Lucunya… kalau aku menikah dan punya anak wajah anakku begitu
yaa.
Saat
istirahatpun tiba. Mata pelajaran Matematika membuatku pusing, pasti karena
materinya mulai ditambah. Aku melihat ke belakang, dan Mika masih saja sibuk
dengan catatannya. Rajin, mungkin karena dia ingin menyusul ketinggalannya.
Serius banget.
Beberapa
teman perempuan menyapanya dan mengajaknya ke kantin, ia menolak mereka dengan
halus. Tiba-tiba ia melihat ke arahku, melempar senyum lagi. Senyum yang begitu
lembut, seakan dari senyum itu aku bisa merasakan kerinduan yang mendalam. Aku
bisa menjamin dengan seluruh ingatanku bahwa aku tak pernah bertemu dengannya
sekalipun. Aku membalas senyumnya.
Kebetulan
hari ini ada rapat OSIS, jadi dua jam pelajaran terakhir aku tidak masuk.
Melihat Mika sendirian di kelas, tidak istirahat, atau makan aku jadi sedikit
khawatir.
“Mika
gak ke kantin? mau bareng?” Ajakku.
Mika
menutup bukunya, menyimpannya ke dalam tas.
“Ayo,
kebetulan aku juga sudah lapar sekali.” Katanya.
Aku
kaget saat dia berlari dan merangkul tanganku, lagi-lagi aku melihat ada air
mata di sudut matanya. Tapi aku tak berani bertanya. Paling tidak bukan
sekarang.
Kami
berjalan ke kantin, dan memesan mie instant rasa soto.
“Kamu
pesan soto juga?” Tanyaku.
“Iya,
kenapa gitu?” Tanyanya.
“Nggak
papa kok, aku suka banget rasa soto. Tiap kesini udah pasti pesannya itu. Hehe”
Jawabku.
“Hemmh
gitu. Kamu OSIS ya?” pertanyan Mika membuatku terkejut. Ini hari pertamanya,
dan dia tau aku ikut OSIS.
“Lho,
tau dari mana?” Tanyaku.
“Cuma
nebak aja. Kapan acara seleksi masuk OSIS lagi?”
“Emmh,
besok. Kamu mau daftar? Hari ini ada rapat, dan kebetulan juga pendaftaran
terakhir. Aku daftarin yaa? mau?” Tanyaku semangat.
Mudah-mudahan
saja dia mau, dengan ikut OSIS, dia akan mudah mendapatkan teman. Selain itu,
entah mengapa niat awalku untuk tidak begitu dekat dengannya jadi berubah.
Mungkinkah karena aku melihatnya meneteskan air mata tadi? entahlah.
“Benarkah
boleh? aku mau deh. Lagipula dulu aku juga OSIS.” Jawabnya.
Wah,
ini bagus. Aku mengangguk tanda setuju.
Hari
itu rapat OSIS selesai pukul 15.30 sore, masih ada yang sekolah. Sementara yang
lain pulang, aku berniat masuk kelas lagi karena akhir-akhir ini nilaiku
menurun. Aku harus berusaha lebih giat lagi.
Saat
masuk ke kelas, ku lihat Mika sedang maju ke depan untuk mengerjakan soal
Biologi. Hari pertama yang hebat untuk Mika. Aku memperhatikannya, jawabannya
sangat runtut dan rapi. Pelajaran mengenai kromosom dan DNA sepertinya terlalu
mudah untuknya.
Saat
dia selesai mengerjakan dan membalikkan badan untuk duduk kembali, dia
melihatku dengan tatapan penuh tanya. Sepertinya dia bertanya, bagaimana?
bagus? apakah jawabannya benar? dan aku menjawab dengan anggukan dan senyum.
Dia
kembali duduk ke bangkunya, anak-anak kelas bertepuk tangan. Pelajaran Biologi
terkenal susah, dan katanya gurunya garang. Tapi pelajaran fisika masih jauh
lebih sulit lagi. Hebatnya Mika berhasil menyelesaikannya tanpa cacat. Saat
melewati bangkuku aku mengcungkan jempol untuknya.
Di
tempat duduknya ia melepas kacamatanya lalu mengusap matanya, ia menangis.
Apakah aku melakukan hal yang salah lagi? Hemmh…
Pukul
16.45 waktunya pulang, aku bergegas ke ruang OSIS saat menyadari bahwa
chargeran hpku tertinggal disana. Aku berlari ke parkiran untuk bergegas pulang
sebelum malam. Ku lihat Mika masih duduk di tangga dekat lapangan, mungkin
menatapi kilauan cahaya matahari sore yang memantul di danau depan sekolah.
“Mika
kok belum pulang?” Tanyaku.
“Aku
menunggu jemputan.” Katanya.
Aku
turun dari motorku lalu menghampirinya.
“Ya
udah, aku temenin ya. Disini udah gk ada siapa-siapa.” Kataku.
Aku
duduk di sebelahnya. Dia menengok ke arahku. Wajahnya seperti yang kesepian.
“Aku
boleh cerita sesuatu?” Katanya tiba-tiba.
“Tentu
saja boleh.” Kataku.
…
“Hemmh,
aku kehilangan Ibuku saat usiaku 2 tahun… Ibu mengidap penyakit gagal ginjal
dan akhirnya komplikasi. Sejujurnya aku tidak ingat wajah ibuku seperti apa.
Aku tak tahu rasanya memiliki Ibu. Aku juga tidak mendapatkan kasih sayang dari
ayah, ia sibuk bekerja setelah Ibu menginggal. Mungkin ia ingin melupakan
kesedihannya dengan cara itu. Aku ingin, sekali saja bisa bertemu dengan Ibu,
mengatakan aku menyayanginya, memeluknya dengan erat, melihatnya bangga padaku…
bercerita mengenai keluh kesahku, aku ingin diberikan kesempatan itu sekali
saja. Hemmh”
Dadaku
begitu sesak mendengar cerita Mika. Entah apa yang mendorongku sampai akhirnya
aku memeluknya dengan erat sambil menangis.
“Ibumu
pasti bangga padamu Mika, dia juga akan memelukmu seperti ini sekarang. Jangan
sedih lagi.” Kataku.
…
“Ibu…
aku sayang Ibu, Mika sayang Ibu… Mika ingin terus memeluk Ibu seperti ini…”
Katanya pelan.
Mungkin
ia merasa seperti sedang dipeluk Ibunya sekarang. Aku ini cengeng, jadi sore
itu aku terus menangis sambil memeluk Mika erat. Entah apa yang menggerakkanku,
tanganku mengusap rambutnya pelan. Seperti seorang Ibu yang tengah mengusap
anaknya yang menangis.
Sore
itu Mika memintaku pulang duluan, katanya dia sudah tidak apa-apa. Lagipula
sudah sangat sore dan hampir gelap. Aku memutuskan untuk pulang.
“Kamu
hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, di sekolah ada pak penjaga sekolah kok. Minta
bantuannya aja ya. Aku pulang dulu.” Kataku sambil memasang helm.
“Iya,
kamu juga.” Katanya.
Aku
pulang dengan motorku. Di perjalanan aku masih saja memikirkan yang terjadi
tadi. Kasihan Mika…
Di
sekolah Mika berdiri lalu menggenggam kalung liontin yang ia kenakan. Ia
membuka liontin itu, terlihat fotonya yang sekarang dan foto ibunya yang
menggendongnya saat masih bayi. Ia menutupnya lagi lalu mengecup lionton itu.
Dalam sekejap Mika menghilang…
***
Keesokan
paginya Mika sudah berdiri di depan gerbang sekolah menungguku datang. Ia
merapikan kacamatanya lalu tersenyum ramah.
“Pagi
banget datangnya Mika. Jadi ikut penyeleksian OSISnya?” Tanyaku saat melepas
helm dan sarung tanganku lalu ku masukkan ke bargasi motor.
“Jadi
donk. Tapi, anter aku sarapan dulu yuk. Kamu juga pasti belum sarapan kan?”
Ajaknya.
“Oh,
ayo.” Kataku.
Pagi
itu kami sarapan uduk di kantin. Pukul 7 pagi kantin sudah ramai oleh anak
kelas satu yang masuk pagi, dan beberapa siswa yang bersiap mengikuti
penyeleksian OSIS.
Aku
kaget saat tiba-tiba Mika membelikan sebotol air mineral untukku.
“Bukan
nyuap ya. Tapi kamu harus jaga kesehatan.” Katanya.
Ya,
banyak minum itu bagus untuk ginjal. Mungkin Mika berharap aku tidak seperti
almarhumah Ibunya.
“Iya,
makasih yaa. Aku percaya kamu gak nyuap. Tapi uduknya habisin donk. Itu masih
banyak, nanti acaranya sampe sore tau.” Kataku mengomel.
“Hehe
malas ah. Aku sudah kenyang.” Katanya.
“Aku
paling sebel sama orang yang suka menyisakan makanan tau.” Kataku.
Aku
mengambil sendoknya lalu menyuapinya.
“Aaa…
buka mulutnya.” Kataku.
Mika
membuka mulutnya.
“Nah,
gitu donk… lagi yaa.” Kataku.
Mika
lagi-lagi menangis. Ia tersenyum sambil mengunyah makanannya.
“Eh…
Mika maaf…” Kataku sambil menyimpan sendoknya kembali.
“Lagi…”
Katanya.
“Eh?”…
“Suapi
lagi…”
Dalam
keadaan bingung aku menyuapi Mika lagi. Seisi kantin melihat kami heran. “Tenang saja, kami bukan pasangan
LGBT…” Kataku pelan.
Mika
tersenyum mendengar perkataanku.
Selesai
dari kantin aku berpamitan untuk mengikuti rapat praacara di ruangan OSIS.
Sementara kandidat OSIS berkumpul di lapangan.
Pukul
08.30 acara dimulai. Acara pertama adalah pengarahan. Ada 10 pos yang harus
dilewati. 8 pos sesuai dengan 8 seksi dalam OSIS, satu pos pengetahuan umum dan
satu pos untuk wawancara dengan pengurus OSIS yang terdiri dari ketua,
sekretaris dan bendahara OSIS. Masing-masing pos akan menilai seksi mana yang
layak diisi oleh kandidat, bagi kandidat yang nilainya dibawah yang lainnya
dinyatakan gagal.
Saat
itu aku berada di pos 8, seksi kesenian. Karena kebetulan koordinator
sebelumnya mengundurkan diri dari OSIS, otomatis aku jadi koordinatornya dan
tidak perlu ikut menjadi kandidat OSIS lagi, sedangkan kelas 2 yang lain selain
yang tidak terpilih menjadi ketua, sekretaris dan bendahara harus ikut seleksi
kembali jika ingin menjabat sebagai angota OSIS angktan ini. Kebetulan yang
memusingkan.
Aku
penasaran bagaimana Mika melewati tiap pos. Mudah-mudahan tidak sampai stress.
Akhirnya
Mika masuk ke posku dan siap mengikuti sesi testing. Aku dan dua temanku yang
menjadi penguji selalu terkejut atas jawaban yang diberikan Mika. Selalu sesuai
harapan, dia terlihat tenang dan percaya diri. Akhirnya kami tahu alasan kenapa
Mika begitu tenang. Ternyata di kelas satu dulu dia adalah ketua OSIS karena
berhasil mengalahkan kandidat yang merupakan kakak kelasnya. Pantas saja dia
mengerti sekali dengan keorganisasian.
Penyeleksian
selesai pukul 16.00 sore. Para panitia berkumpul untuk menghitung nilai dari
masing-masing kandidat, sementara kandidat diminta istirahat dan menunggu
pengumuman siapa yang lulus. Setelah selesai penghitungan, kandidat dikumpulkan
di lapangan.
Miftah
sang ketua OSIS mengumumkan nama anggota yang masuk mulai dari nilai terkecil
sampai yang tertinggi. Dari sekitar 30 orang yang daftar, hanya 24 orang yang
berhak menjadi anggota OSIS. Pengumuman saat itu diakhiri oleh pengumuman 3
nama dengan nilai tertinggi.
“Nilai
tertinggi ketiga diraih oleh Edi Setiawan dari kelas I IPA 2 dan masuk menjadi
anggota seksi Kebahasaan. Nilai tertinggi kedua diraih oleh Uswatun Hasanah
dari II IPA 1 dan masuk menjadi anggota seksi Keagamaan. Sementara nilai
tertinggi pertama diraih oleh…” Miftah menahan pengumumannya.
Sementara
ini Mika belum disebutkan namanya. Apakah mungkin dia masuk menjadi anggota
OSIS? aku berharap iya.
“Nilai
tertinggi pertama diraih oleh Mika Syafira Rahayu dari II IPA 4. Karena nilai
dari beberapa pos sangat tinggi, kami akan menyerahkan keputusan kepada Mika.
Jadi, kami minta Mika untuk memilih masuk ke pos mana, sesuai keinginan Mika ya.”
Miftah melanjutkan.
“Mika
mau masuk seksi mana?” Tanya Lia, sang sekretaris dengan lembut.
“Seksi
kesenian.” Jawabnya singkat.
“Yakin?
Kamu tidak bisa menggantinya lagi Mika.” Tanya Nesa sang bendahara.
“Yakin.”
Jawabnya tegas.
“Baiklah,
Mika Syafira Rahayu masuk ke seksi kesenian. Silahkan bergabung dengan anggota
yang lain.” Pinta Miftah diiringi tepuk tangan seluruh anggota OSIS yang lain.
Aku
tersenyum bangga menyambut kedatangan Mika ke seksi kesenian.
“Pengumuman
sekali lagi, untuk anggota baru OSIS yang hari ini lolos seleksi, 3 hari lagi
kita akan melaksanakan pelantikan. Jadi persiapkan diri kalian.” Sekali lagi
Miftah mengumumkan.
Pukul
17.10 semua siswa pulang. Mika dan aku seperti biasa duduk di tangga depan
lapangan yang menghadap ke danau memandangi cahaya matahari yang memantul itu.
Indah… ini seperti sudah jadi kebiasaan kami saja.
“Gimana
seleksi hari ini? capek?” Tanyaku pada Mika.
“Yah,
lumayan. Bagaimana penampilanku tadi?” Tanya Mika.
“Keren,
kami sampe gak bisa ngomong apa-apa lagi. Selamat yaa.” Kataku.
“Hemm…
kamu bangga?” Tanya Mika.
Bangga?
mungkin maksudnya, jika aku ibunya apakah aku akan bangga?
“Tentu
saja aku bangga, dan Ibumu di surga juga pasti bangga Mika.” Kataku sembari
tersenyum padanya.
Mika
tersenyum… lalu kembali memandang danau. Kulihat liontin di lehernya bersinar
terkena sinar matahari.
“Liontin
yang bagus Mika. Ada foto di dalamnya?” Tanyaku penasaran.
“Hemmm,
peninggalan almarhumah Ibu.” Katanya.
“Aku
nanti mau beli yang begitu ah.” Kataku.
Mika
tertawa… nyaring sekali.
“Hahaha
untuk apa?” Tanyanya.
“Yah,
untuk ku wariskan kepada anakku. Kalo udah nikah. Hehe” Kataku.
Tawa
Mika berhenti. Ia tiba-tiba memelukku. Tanpa mengeluarkan suara apapun. Aku
hanya mampu terdiam. Mika melepaskan pelukannya setelah hampir satu menit
lamanya.
“Kamu
pulang duluan sana, sudah sore.” Pinta Mika.
“Kamu
gimana?” Tanyaku.
“Tenang
saja, aku ada yang jemput. Sampai ketemu besok ya... Sudah sana. Hati-hati.”
Katanya.
Aku
berangkat pulang dengan motorku, Mika melambaikan tangannya.
***
Hari
pelantikan akhirnya tiba. Kami akan menginap di sekolah selama dua hari satu
malam. Mika selalu datang lebih cepat.
“Sudah
dibawa semua persyaratannya Mika?” Tanyaku.
“Sudah
lengkap. Semoga pelantikannya menyenangkan. Karena selama yang aku tau,
pelantikan selalu tidak menyenangkan.” Katanya.
“Hahaha
ya, begitulah. Aku juga gak bisa bohong dan bilang pelantikan itu menyenangkan,
apalagi kamu udah punya banyak pengalaman. Tapi, pelantikan kali ini pasti
beda, kenapa coba?” Tanyaku.
“Kenapa?”
Mika tanya balik.
“Karena
disini kamu siswi baru, dan karena yang ngelantik kamu itu aku. Hehehe”
Jawabku.
Mika
tertawa mendengar jawabanku.
“Hahaha
bisa aja. Tapi iya bener, pasti bakalan beda.” Jawabnya berbinar-binar.
Sabtu
pagi di sekolah hari itu sangat sepi, pasti karena ini tanggal merah. Kami
memanfaatkan tanggal merah ini untuk melaksanakan pelantikan. Jadi bisa dua
hari acaranya, dari hari sabtu sampai hari minggu.
Aku
berpamitan pada Mika untuk mempersiapkan acara di ruangan OSIS, sementara Mika
dan beberapa anggota OSIS baru menunggu di ruangan yang sudah dipersiapkan.
Barang-barang mereka disimpan disana dan nanti mereka akan mengingap di ruangan
itu.
Rasanya
aneh juga dekat dengan orang yang akan dilantik. Gak bisa galak yaa. Untung
saja peranku disini adalah sebagai koordinator seksi kesenian, jadi tidak ada
galak-galakan. Capek kan jadi kakak jahat itu.
Setelah
beberapa lama akhirnya acara dimulai. Semua anggota baru dikumpulkan di
lapangan. Setelah upacara pembukaan seluruh anggota baru dikumpulkan di ruangan
untuk menerima materi keorganisasian dan kebangsaan. Setelah selesai, mereka
diberikan waktu istirahat sholat dan makan siang.
Mika
belum memiliki banyak teman disini, dia makan sendirian di dalam ruangan. Aku
tidak sengaja melihatnya disana saat mempersiapkan acara selanjutnya.
“Mika
kok makan sendiri?” Tanya Lia yang saat itu bersamaku.
“Iya,
mau?” Tanyanya.
“Wah,
sok mangga duluan. Panitian makannya nanti.” Tolak Lia dengan halus.
Anggota
OSIS yang satu ini memang terkenal anggun dan lembut. Jadi dia juga bukan
anggota yang berperan galak.
Acara
demi acara terlewati dengan lancar. Sampai tiba di acara jurit malam. Pukul 2
pagi semua anggota baru dibangunkan dan diminta memasuki 6 pos, di setiap pos diberikan
waktu 10 menit, sementara anggota dibagi menjadi 4 orang per grup, jadi ada 6
grup. Kebetulan aku ada di pos terakhir bersama para pengurus OSIS. Pos ini
menjadi penentu terakhir apakah anggota baru OSIS tadi benar-benar layak atau
tidak menjadi anggota OSIS dan diberikan sertifikat keanggotaan.
Seperti
yang aku dengar dari teman-teman yang lain, jawaban Mika selalu memuaskan.
Karena memuaskan itu, banyak koordinator pos yang mencoba memberikan pertanyaan
yang diluar dari materi mereka. Tapi lagi-lagi jawabannya selalu tepat.
Akhirnya
Mika masuk ke pos terakhir bersama ketiga temannya. Ketua kelompok seperti
biasa melakukan laporan awal dan kami mempersilahkan mereka untuk bersiap.
Beberapa pertanyaan terjawab dengan baik oleh mereka, tapi ada kalanya
pertanyaan diajukan untuk individu. Ketiga teman Mika sempat kebingungan
menjawab sebuah pertanyaan akhir, tapi Mika menjawabnya dengan pasti tanpa
keraguan. Pertanyaan yang membuat peserta harus memilih antara acara OSIS yang
besar, dengan keluarga. Mika dengan pasti menjawab keluarga. Tanpa ragu. Kami
yang memberikan pertanyaan hanya tersenyum mendapat jawaban itu.
“Memang
OSIS segalanya, tapi keluarga di atas segalanya.” Jawaban Mika lantang.
Setelah
mendengar jawaban Mika, tiba-tiba kepalaku pusing, dan akhirnya aku tak
sadarkan diri.
***
Pukul
4 pagi acara jurit malam selesai, beberapa siswa muslim diminta menunggu di
mushola sekolah. Banyak yang melakukan sholat tahajud disana sambil menunggu
adzan subuh. Sementara Mika meminta diri untuk menjagaku di ruang UKS sampai
aku cukup kuat untuk beraktifitas kembali.
“Kamu
istirahat dulu aja ya Din. Kalau sudah kuat, kamu bisa nyusul ke mushola bareng
Mika buat sholat subuh berjamaan.” Kata Lia.
“Iya,
istirahat dulu aja.” Kata teman OSIS yang lain.
“Mika
mau nunggu Andini disini?” Tanya Nesa.
“Iya,
kalian duluan aja.” Jawabnya.
Setelah
itu tinggal aku dan Mika di ruang UKS.
Beberapa
menit lamanya Mika diam, padahal aku sudah terbangun sejak tadi.
…
“Kenapa
bisa sampai pingsan?” Tanya Mika tiba-tiba. Wajahnya begitu dingin, terlihat
begitu marah.
“Mungkin
aku kurang minum, dehidrasi. Hehe” Kataku.
“Kamu
udah sakit sejak kelas satu kan? kenapa gak jaga kesehatan?”
“Siapa
yang cerita aku sakit?” Tanyaku heran.
Selama
ini tidak ada satupun orang yang tau aku sakit kecuali keluargaku.
“Nenek…”
Jawab Mika tanpa menoleh ke arahku.
Kenapa
Neneknya tau aku sakit?
“Kok
nenekmu tau aku sakit?” Tanyaku heran.
Tiba-tiba
Mika bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku.
“Dengarkan
aku baik-baik, tolong jaga kesehatanmu. Karena sikapmu ini, bisa jadi seorang
anak tidak mengenal Ibunya dan seorang suami kehilangan kebahagiaannya
seketika. Jadi, tolong jaga kesehatanmu.” Kata Mika sambil meninggalkan ruang
UKS. Meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong.
…
Aku
berjalan ke mushola saat mendengar adzan subuh, kemudian mengambil air wudhu
dan duduk disamping Mika. Mika menengok ke arahku.
Setelah
rokaat terakhir dan kami semua bersalaman, orang terakhir yang bersalaman
denganku adalah Mika. Aku memeluknya dan membisikan sesuatu di telinganya.
“Maafkan
aku Mika, maafkan Ibu.” Kataku.
Mika
menangis tersedu-sedu mendengar perkataanku.
***
Setelah
selesai olahraga dan sarapan pagi, acara selanjutnya adalah outbond. Kami semua
telah mengganti seragam dengan pakaian olahraga lalu berjalan bersama-sama
mengelilingi perkampungan.
Seperti
biasa, tiap tempat ada pos, dan tiap pos ada permainan yang harus mereka ikuti.
Permainan kerjasama, kepemimpinan dan pengetahuan. Merangkak dibawah tali, membuat
kerajinan dari barang yang ditemui, sampai memecahkan teka-teki yang panitia
buatkan. Setelah selesai, pakaian peserta sudah tampak dipenuhi lumpur dan
wajah mereka sangat berantakan. Tapi inilah kenangan yang mahal harganya.
Selesai
outbond peserta merapikan diri dan memasuki materi terakhir di ruangan. Semua
peserta sudah kembali cantik dan tampan. Materi terakhir ini sekaligus juga
dengan acara penutupan.
Setelah
kejadian di mushola, Mika tidak banyak bicara dan aku juga tidak berani
bertanya. Mungkin sekarang bukan saat yang tepat.
Tiba
di penghujung acara terakhir, acara penutupan. Semua bersalaman dan
masing-masing meningglkan sekolah untuk pulang, sementara para panitia
berkumpul untuk melakukan evaluasi.
Evaluasi
selesai pukul 15.00 sore. Kami semua bergegas pulang. Saat hendak pulang dan
menyalakan motor, ku lihat Mika masih ada di sekolah, masih berdiam diri di
tempat biasa dia menunggu jemputan. Dia menoleh dan tersenyum padaku. Ku kira
dia masih marah. Akupun berjalan mendekatinya.
“Mika…”
Sapaku.
“Hemm?”
Tanyanya.
“Mika
marah?” Tanyaku.
“Marah
kenapa? kamu gak punya salah apa-apa.” Katanya.
“Maaf
ya soal yang semalam. Aku cuma terbawa suasana. Maaf juga karena aku sering
bertingkah kayak anak kecil.” Kataku.
…
“Aku
kesini cuma buat satu tujuan, mengingatkanmu.”
“Maksudnya?”
Aku bingung.
“Jika
aku bercerita, berarti ini adalah hari terakhirku disini. Hemmh…” Katanya.
“Kamu
mau kemana?” Tanyaku.
“Jangan
pura-pura gak tau…”
Hening
sejenak…
“Aku
tau, tapi hal seperti itu tidak mungkin ada…” Kataku.
“Hal
seperti apa?” Tanya Mika.
“Hal
seperti sihir, keajaiban… itu tidak mungkin ada.” Kataku.
“Yakin?”
“Entahlah…
selama yang aku tau, aku gak pernah lihat langsung.” Kataku.
…
“Hari
itu, saat pulang sekolah setelah pembagian rapor. Ayah sudah di rumah. Dia
bilang kalau ada titipan dari Ibu untukku saat aku masih kecil. Sebuah liontin.
Isinya fotoku dan Ibu. Ada sebuah surat yang mengatakan bahwa liontin itu bisa
membawaku ke jaman Ibu masih SMA hanya dengan mengecupnya. Beberapa hari aku
membiarkan liontin ini. Sampai akhirnya aku
mencobanya, tiba-tiba aku sudah disini sebagai siswi baru…” Katanya.
“Hemmh,
jadi kamu masuk ke kelasku dengan cara itu? kenapa saat di kelas kamu
menangis?” Tanyaku.
…
“Karena
aku sadar…”
“Sadar
apa?”
“Sadar
bahwa aku bertemu dengan Ibu di kelas itu… sadar bahwa impianku benar-benar
terkabul. Sadar bahwa aku bertemu denganmu saat kamu masih SMA. Kau tau,
rasanya aku sangat ingin memelukmu saat itu juga, mengatakan bahwa aku rindu
padamu. Tapi, aku sadar bahwa jika aku melakukannya, maka aku akan segera
menghilang… maaf Ibu. Kamu adalah Ibuku, Ibu yang sangat kurindukan… maaf…”
Katanya sambil menangis.
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi. Walaupun aku menyadari ada yang aneh, tapi… aku
tidak pernah menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi kepadaku.
“Mika…
jika itu benar… aku akan mengatakan ini sekarang…”
…
“Ibu
bangga telah melahirkan anak sehebat kamu, anak yang kuat dan mandiri. Pintar,
cantik dan yang penting kamu menyayangi Ibu. Maafkan Ibu karena meninggalkanmu
saat kamu masih sangat kecil, tapi seperti yang kamu tahu, Ibu sakit sudah
sejak lama. Kecil kamungkinannya untuk sembuh. Yang harus kamu tau sekarang
adalah bahwa Ibu menyayangimu, Ibu bangga padamu.” Kataku.
Mika
menangis dan memelukku dengan erat. Aku mengusap rambutnya dan mengecup
keningnya. Mika semakin menangis…
“Sekarang,
kamu tau kan perasaan Ibu seperti apa. Ibu bersyukur telah melahirkanmu, dan
Ibu bangga padamu. Jangan ada penyesalan ya Mika.” Kataku lagi.
Mika
mengangguk sambil tersenyum. Ia berdiri dan mengucapkan terima kasih. Aku juga
ikut berdiri.
“Jadi,
inilah ahirnya Bu, aku akan kembali ke masaku. Terima kasih untuk beberapa hari
ini. Mika sayang Ibu…”
Setelah
mengucapkan itu Mika menghilang dan menjatuhkan liontinnya tepat ke tanganku.
“Mika,
kita akan bertemu lagi… anak kebanggaan Ibu.”
***
Setelah
hari itu, tidak ada yang mengingat kehadiran Mika kecuali aku. Aku akan
mengingatnya sampai kapanpun. Anakku yang membanggakan…
***TAMAT***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar