Sabtu, 06 Agustus 2016

Cerpen: MIKA



            Namaku Andini Rahayu, sekarang kelas 2 SMA di salah satu SMA negeri di Bogor. Ini adalah minggu keduaku di kelas 2. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini aku juga mengikuti OSIS. Walaupun aku tidak pandai bersosialisasi, tapi menurutku dengan mengikuti OSIS aku akan bisa mendapat teman.
            Pagi itu Bu Sri wali kelas kami masuk ke kelas dengan membawa seorang siswi di sebelahnya. Rambut panjang lurus, berkacamata. Dari pengalamanku mengobservasi orang, gadis ini misterius, pintar dan mungkin akan sulit didekati. Tapi seperti biasa, daya tarik anak baru itu kuat, jadi pasti banyak yang mencoba mendekatinya. Hehe
            “Namaku Mika, senang berkenalan dengan kalian.”
            Perkenalan yang cukup singkat. Beberapa anak laki-laki mulai terlihat menggoda. Tapi, Mika menanggapinya biasa saja. Membuat beberapa anak semakin penasaran. Berbeda denganku, aku akan mencoba untuk tidak terlalu dekat, lagipula belum tentu gadis cantik ini mau berteman denganku.
            Saat melewati bangkuku yang kebetulan berada dua baris di depan bangkunya ia tersenyum padaku. Aku seperti melihat matanya berkaca-kaca. Aku tidak mengerti. Sejujurnya aku belum pernah bertemu dengannya. Walau wajahnya sedikit familiar, tapi aku yakin ini kali pertama aku bertemu dengannya.
            “Dia mirip denganmu kalau kamu pakai kacamata ya Din. Hehe” Yasi teman sebangkuku menyadarkanku. Memang benar dia mirip denganku, sedikit mirip.
            “Apanya yg mirip? dia mah cantik Yas.” Kataku.
            “Semuanya… mungkin klo kamu nikah terus punya anak, anaknya mirip kayak gitu.”
            “Hahaha bisa aja…”
            Yah, bisa jadi begitu. Lucunya… kalau aku menikah dan punya anak wajah anakku begitu yaa.
            Saat istirahatpun tiba. Mata pelajaran Matematika membuatku pusing, pasti karena materinya mulai ditambah. Aku melihat ke belakang, dan Mika masih saja sibuk dengan catatannya. Rajin, mungkin karena dia ingin menyusul ketinggalannya. Serius banget.
            Beberapa teman perempuan menyapanya dan mengajaknya ke kantin, ia menolak mereka dengan halus. Tiba-tiba ia melihat ke arahku, melempar senyum lagi. Senyum yang begitu lembut, seakan dari senyum itu aku bisa merasakan kerinduan yang mendalam. Aku bisa menjamin dengan seluruh ingatanku bahwa aku tak pernah bertemu dengannya sekalipun. Aku membalas senyumnya.
            Kebetulan hari ini ada rapat OSIS, jadi dua jam pelajaran terakhir aku tidak masuk. Melihat Mika sendirian di kelas, tidak istirahat, atau makan aku jadi sedikit khawatir.
            “Mika gak ke kantin? mau bareng?” Ajakku.
            Mika menutup bukunya, menyimpannya ke dalam tas.
            “Ayo, kebetulan aku juga sudah lapar sekali.” Katanya.
            Aku kaget saat dia berlari dan merangkul tanganku, lagi-lagi aku melihat ada air mata di sudut matanya. Tapi aku tak berani bertanya. Paling tidak bukan sekarang.
            Kami berjalan ke kantin, dan memesan mie instant rasa soto.
            “Kamu pesan soto juga?” Tanyaku.
            “Iya, kenapa gitu?” Tanyanya.
            “Nggak papa kok, aku suka banget rasa soto. Tiap kesini udah pasti pesannya itu. Hehe” Jawabku.
            “Hemmh gitu. Kamu OSIS ya?” pertanyan Mika membuatku terkejut. Ini hari pertamanya, dan dia tau aku ikut OSIS.
            “Lho, tau dari mana?” Tanyaku.
            “Cuma nebak aja. Kapan acara seleksi masuk OSIS lagi?”
            “Emmh, besok. Kamu mau daftar? Hari ini ada rapat, dan kebetulan juga pendaftaran terakhir. Aku daftarin yaa? mau?” Tanyaku semangat.
            Mudah-mudahan saja dia mau, dengan ikut OSIS, dia akan mudah mendapatkan teman. Selain itu, entah mengapa niat awalku untuk tidak begitu dekat dengannya jadi berubah. Mungkinkah karena aku melihatnya meneteskan air mata tadi? entahlah.
            “Benarkah boleh? aku mau deh. Lagipula dulu aku juga OSIS.” Jawabnya.
            Wah, ini bagus. Aku mengangguk tanda setuju.
            Hari itu rapat OSIS selesai pukul 15.30 sore, masih ada yang sekolah. Sementara yang lain pulang, aku berniat masuk kelas lagi karena akhir-akhir ini nilaiku menurun. Aku harus berusaha lebih giat lagi.
            Saat masuk ke kelas, ku lihat Mika sedang maju ke depan untuk mengerjakan soal Biologi. Hari pertama yang hebat untuk Mika. Aku memperhatikannya, jawabannya sangat runtut dan rapi. Pelajaran mengenai kromosom dan DNA sepertinya terlalu mudah untuknya.
            Saat dia selesai mengerjakan dan membalikkan badan untuk duduk kembali, dia melihatku dengan tatapan penuh tanya. Sepertinya dia bertanya, bagaimana? bagus? apakah jawabannya benar? dan aku menjawab dengan anggukan dan senyum.
            Dia kembali duduk ke bangkunya, anak-anak kelas bertepuk tangan. Pelajaran Biologi terkenal susah, dan katanya gurunya garang. Tapi pelajaran fisika masih jauh lebih sulit lagi. Hebatnya Mika berhasil menyelesaikannya tanpa cacat. Saat melewati bangkuku aku mengcungkan jempol untuknya.
            Di tempat duduknya ia melepas kacamatanya lalu mengusap matanya, ia menangis. Apakah aku melakukan hal yang salah lagi? Hemmh…
            Pukul 16.45 waktunya pulang, aku bergegas ke ruang OSIS saat menyadari bahwa chargeran hpku tertinggal disana. Aku berlari ke parkiran untuk bergegas pulang sebelum malam. Ku lihat Mika masih duduk di tangga dekat lapangan, mungkin menatapi kilauan cahaya matahari sore yang memantul di danau depan sekolah.
            “Mika kok belum pulang?” Tanyaku.
            “Aku menunggu jemputan.” Katanya.
            Aku turun dari motorku lalu menghampirinya.
            “Ya udah, aku temenin ya. Disini udah gk ada siapa-siapa.” Kataku.
            Aku duduk di sebelahnya. Dia menengok ke arahku. Wajahnya seperti yang kesepian.
            “Aku boleh cerita sesuatu?” Katanya tiba-tiba.
            “Tentu saja boleh.” Kataku.
           
            “Hemmh, aku kehilangan Ibuku saat usiaku 2 tahun… Ibu mengidap penyakit gagal ginjal dan akhirnya komplikasi. Sejujurnya aku tidak ingat wajah ibuku seperti apa. Aku tak tahu rasanya memiliki Ibu. Aku juga tidak mendapatkan kasih sayang dari ayah, ia sibuk bekerja setelah Ibu menginggal. Mungkin ia ingin melupakan kesedihannya dengan cara itu. Aku ingin, sekali saja bisa bertemu dengan Ibu, mengatakan aku menyayanginya, memeluknya dengan erat, melihatnya bangga padaku… bercerita mengenai keluh kesahku, aku ingin diberikan kesempatan itu sekali saja. Hemmh”
            Dadaku begitu sesak mendengar cerita Mika. Entah apa yang mendorongku sampai akhirnya aku memeluknya dengan erat sambil menangis.
            “Ibumu pasti bangga padamu Mika, dia juga akan memelukmu seperti ini sekarang. Jangan sedih lagi.” Kataku.
           
            “Ibu… aku sayang Ibu, Mika sayang Ibu… Mika ingin terus memeluk Ibu seperti ini…” Katanya pelan.
            Mungkin ia merasa seperti sedang dipeluk Ibunya sekarang. Aku ini cengeng, jadi sore itu aku terus menangis sambil memeluk Mika erat. Entah apa yang menggerakkanku, tanganku mengusap rambutnya pelan. Seperti seorang Ibu yang tengah mengusap anaknya yang menangis.
            Sore itu Mika memintaku pulang duluan, katanya dia sudah tidak apa-apa. Lagipula sudah sangat sore dan hampir gelap. Aku memutuskan untuk pulang.
            “Kamu hati-hati ya. Kalau ada apa-apa, di sekolah ada pak penjaga sekolah kok. Minta bantuannya aja ya. Aku pulang dulu.” Kataku sambil memasang helm.
            “Iya, kamu juga.” Katanya.
            Aku pulang dengan motorku. Di perjalanan aku masih saja memikirkan yang terjadi tadi. Kasihan Mika…
            Di sekolah Mika berdiri lalu menggenggam kalung liontin yang ia kenakan. Ia membuka liontin itu, terlihat fotonya yang sekarang dan foto ibunya yang menggendongnya saat masih bayi. Ia menutupnya lagi lalu mengecup lionton itu. Dalam sekejap Mika menghilang…
            ***
            Keesokan paginya Mika sudah berdiri di depan gerbang sekolah menungguku datang. Ia merapikan kacamatanya lalu tersenyum ramah.
            “Pagi banget datangnya Mika. Jadi ikut penyeleksian OSISnya?” Tanyaku saat melepas helm dan sarung tanganku lalu ku masukkan ke bargasi motor.
            “Jadi donk. Tapi, anter aku sarapan dulu yuk. Kamu juga pasti belum sarapan kan?” Ajaknya.
            “Oh, ayo.” Kataku.
            Pagi itu kami sarapan uduk di kantin. Pukul 7 pagi kantin sudah ramai oleh anak kelas satu yang masuk pagi, dan beberapa siswa yang bersiap mengikuti penyeleksian OSIS.
            Aku kaget saat tiba-tiba Mika membelikan sebotol air mineral untukku.
            “Bukan nyuap ya. Tapi kamu harus jaga kesehatan.” Katanya.
            Ya, banyak minum itu bagus untuk ginjal. Mungkin Mika berharap aku tidak seperti almarhumah Ibunya.
            “Iya, makasih yaa. Aku percaya kamu gak nyuap. Tapi uduknya habisin donk. Itu masih banyak, nanti acaranya sampe sore tau.” Kataku mengomel.
            “Hehe malas ah. Aku sudah kenyang.” Katanya.
            “Aku paling sebel sama orang yang suka menyisakan makanan tau.” Kataku.
            Aku mengambil sendoknya lalu menyuapinya.
            “Aaa… buka mulutnya.” Kataku.
            Mika membuka mulutnya.
            “Nah, gitu donk… lagi yaa.” Kataku.
            Mika lagi-lagi menangis. Ia tersenyum sambil mengunyah makanannya.
            “Eh… Mika maaf…” Kataku sambil menyimpan sendoknya kembali.
            “Lagi…” Katanya.
            “Eh?”…
            “Suapi lagi…”
            Dalam keadaan bingung aku menyuapi Mika lagi. Seisi kantin melihat kami heran.             “Tenang saja, kami bukan pasangan LGBT…” Kataku pelan.
            Mika tersenyum mendengar perkataanku.
            Selesai dari kantin aku berpamitan untuk mengikuti rapat praacara di ruangan OSIS. Sementara kandidat OSIS berkumpul di lapangan.
            Pukul 08.30 acara dimulai. Acara pertama adalah pengarahan. Ada 10 pos yang harus dilewati. 8 pos sesuai dengan 8 seksi dalam OSIS, satu pos pengetahuan umum dan satu pos untuk wawancara dengan pengurus OSIS yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara OSIS. Masing-masing pos akan menilai seksi mana yang layak diisi oleh kandidat, bagi kandidat yang nilainya dibawah yang lainnya dinyatakan gagal.
            Saat itu aku berada di pos 8, seksi kesenian. Karena kebetulan koordinator sebelumnya mengundurkan diri dari OSIS, otomatis aku jadi koordinatornya dan tidak perlu ikut menjadi kandidat OSIS lagi, sedangkan kelas 2 yang lain selain yang tidak terpilih menjadi ketua, sekretaris dan bendahara harus ikut seleksi kembali jika ingin menjabat sebagai angota OSIS angktan ini. Kebetulan yang memusingkan.
            Aku penasaran bagaimana Mika melewati tiap pos. Mudah-mudahan tidak sampai stress.
            Akhirnya Mika masuk ke posku dan siap mengikuti sesi testing. Aku dan dua temanku yang menjadi penguji selalu terkejut atas jawaban yang diberikan Mika. Selalu sesuai harapan, dia terlihat tenang dan percaya diri. Akhirnya kami tahu alasan kenapa Mika begitu tenang. Ternyata di kelas satu dulu dia adalah ketua OSIS karena berhasil mengalahkan kandidat yang merupakan kakak kelasnya. Pantas saja dia mengerti sekali dengan keorganisasian.
            Penyeleksian selesai pukul 16.00 sore. Para panitia berkumpul untuk menghitung nilai dari masing-masing kandidat, sementara kandidat diminta istirahat dan menunggu pengumuman siapa yang lulus. Setelah selesai penghitungan, kandidat dikumpulkan di lapangan.
            Miftah sang ketua OSIS mengumumkan nama anggota yang masuk mulai dari nilai terkecil sampai yang tertinggi. Dari sekitar 30 orang yang daftar, hanya 24 orang yang berhak menjadi anggota OSIS. Pengumuman saat itu diakhiri oleh pengumuman 3 nama dengan nilai tertinggi.
            “Nilai tertinggi ketiga diraih oleh Edi Setiawan dari kelas I IPA 2 dan masuk menjadi anggota seksi Kebahasaan. Nilai tertinggi kedua diraih oleh Uswatun Hasanah dari II IPA 1 dan masuk menjadi anggota seksi Keagamaan. Sementara nilai tertinggi pertama diraih oleh…” Miftah menahan pengumumannya.
            Sementara ini Mika belum disebutkan namanya. Apakah mungkin dia masuk menjadi anggota OSIS? aku berharap iya.
            “Nilai tertinggi pertama diraih oleh Mika Syafira Rahayu dari II IPA 4. Karena nilai dari beberapa pos sangat tinggi, kami akan menyerahkan keputusan kepada Mika. Jadi, kami minta Mika untuk memilih masuk ke pos mana, sesuai keinginan Mika ya.” Miftah melanjutkan.
            “Mika mau masuk seksi mana?” Tanya Lia, sang sekretaris dengan lembut.
            “Seksi kesenian.” Jawabnya singkat.
            “Yakin? Kamu tidak bisa menggantinya lagi Mika.” Tanya Nesa sang bendahara.
            “Yakin.” Jawabnya tegas.
            “Baiklah, Mika Syafira Rahayu masuk ke seksi kesenian. Silahkan bergabung dengan anggota yang lain.” Pinta Miftah diiringi tepuk tangan seluruh anggota OSIS yang lain.
            Aku tersenyum bangga menyambut kedatangan Mika ke seksi kesenian.
            “Pengumuman sekali lagi, untuk anggota baru OSIS yang hari ini lolos seleksi, 3 hari lagi kita akan melaksanakan pelantikan. Jadi persiapkan diri kalian.” Sekali lagi Miftah mengumumkan.
            Pukul 17.10 semua siswa pulang. Mika dan aku seperti biasa duduk di tangga depan lapangan yang menghadap ke danau memandangi cahaya matahari yang memantul itu. Indah… ini seperti sudah jadi kebiasaan kami saja.
            “Gimana seleksi hari ini? capek?” Tanyaku pada Mika.
            “Yah, lumayan. Bagaimana penampilanku tadi?” Tanya Mika.
            “Keren, kami sampe gak bisa ngomong apa-apa lagi. Selamat yaa.” Kataku.
            “Hemm… kamu bangga?” Tanya Mika.
            Bangga? mungkin maksudnya, jika aku ibunya apakah aku akan bangga?
            “Tentu saja aku bangga, dan Ibumu di surga juga pasti bangga Mika.” Kataku sembari tersenyum padanya.
            Mika tersenyum… lalu kembali memandang danau. Kulihat liontin di lehernya bersinar terkena sinar matahari.
            “Liontin yang bagus Mika. Ada foto di dalamnya?” Tanyaku penasaran.
            “Hemmm, peninggalan almarhumah Ibu.” Katanya.
            “Aku nanti mau beli yang begitu ah.” Kataku.
            Mika tertawa… nyaring sekali.
            “Hahaha untuk apa?” Tanyanya.
            “Yah, untuk ku wariskan kepada anakku. Kalo udah nikah. Hehe” Kataku.
            Tawa Mika berhenti. Ia tiba-tiba memelukku. Tanpa mengeluarkan suara apapun. Aku hanya mampu terdiam. Mika melepaskan pelukannya setelah hampir satu menit lamanya.
            “Kamu pulang duluan sana, sudah sore.” Pinta Mika.
            “Kamu gimana?” Tanyaku.
            “Tenang saja, aku ada yang jemput. Sampai ketemu besok ya... Sudah sana. Hati-hati.” Katanya.
            Aku berangkat pulang dengan motorku, Mika melambaikan tangannya.
            ***
            Hari pelantikan akhirnya tiba. Kami akan menginap di sekolah selama dua hari satu malam. Mika selalu datang lebih cepat.
            “Sudah dibawa semua persyaratannya Mika?” Tanyaku.
            “Sudah lengkap. Semoga pelantikannya menyenangkan. Karena selama yang aku tau, pelantikan selalu tidak menyenangkan.” Katanya.
            “Hahaha ya, begitulah. Aku juga gak bisa bohong dan bilang pelantikan itu menyenangkan, apalagi kamu udah punya banyak pengalaman. Tapi, pelantikan kali ini pasti beda, kenapa coba?” Tanyaku.
            “Kenapa?” Mika tanya balik.
            “Karena disini kamu siswi baru, dan karena yang ngelantik kamu itu aku. Hehehe” Jawabku.
            Mika tertawa mendengar jawabanku.
            “Hahaha bisa aja. Tapi iya bener, pasti bakalan beda.” Jawabnya berbinar-binar.
            Sabtu pagi di sekolah hari itu sangat sepi, pasti karena ini tanggal merah. Kami memanfaatkan tanggal merah ini untuk melaksanakan pelantikan. Jadi bisa dua hari acaranya, dari hari sabtu sampai hari minggu.
            Aku berpamitan pada Mika untuk mempersiapkan acara di ruangan OSIS, sementara Mika dan beberapa anggota OSIS baru menunggu di ruangan yang sudah dipersiapkan. Barang-barang mereka disimpan disana dan nanti mereka akan mengingap di ruangan itu.
            Rasanya aneh juga dekat dengan orang yang akan dilantik. Gak bisa galak yaa. Untung saja peranku disini adalah sebagai koordinator seksi kesenian, jadi tidak ada galak-galakan. Capek kan jadi kakak jahat itu.
            Setelah beberapa lama akhirnya acara dimulai. Semua anggota baru dikumpulkan di lapangan. Setelah upacara pembukaan seluruh anggota baru dikumpulkan di ruangan untuk menerima materi keorganisasian dan kebangsaan. Setelah selesai, mereka diberikan waktu istirahat sholat dan makan siang.
            Mika belum memiliki banyak teman disini, dia makan sendirian di dalam ruangan. Aku tidak sengaja melihatnya disana saat mempersiapkan acara selanjutnya.
            “Mika kok makan sendiri?” Tanya Lia yang saat itu bersamaku.
            “Iya, mau?” Tanyanya.
            “Wah, sok mangga duluan. Panitian makannya nanti.” Tolak Lia dengan halus.
            Anggota OSIS yang satu ini memang terkenal anggun dan lembut. Jadi dia juga bukan anggota yang berperan galak.
            Acara demi acara terlewati dengan lancar. Sampai tiba di acara jurit malam. Pukul 2 pagi semua anggota baru dibangunkan dan diminta memasuki 6 pos, di setiap pos diberikan waktu 10 menit, sementara anggota dibagi menjadi 4 orang per grup, jadi ada 6 grup. Kebetulan aku ada di pos terakhir bersama para pengurus OSIS. Pos ini menjadi penentu terakhir apakah anggota baru OSIS tadi benar-benar layak atau tidak menjadi anggota OSIS dan diberikan sertifikat keanggotaan.
            Seperti yang aku dengar dari teman-teman yang lain, jawaban Mika selalu memuaskan. Karena memuaskan itu, banyak koordinator pos yang mencoba memberikan pertanyaan yang diluar dari materi mereka. Tapi lagi-lagi jawabannya selalu tepat.
            Akhirnya Mika masuk ke pos terakhir bersama ketiga temannya. Ketua kelompok seperti biasa melakukan laporan awal dan kami mempersilahkan mereka untuk bersiap. Beberapa pertanyaan terjawab dengan baik oleh mereka, tapi ada kalanya pertanyaan diajukan untuk individu. Ketiga teman Mika sempat kebingungan menjawab sebuah pertanyaan akhir, tapi Mika menjawabnya dengan pasti tanpa keraguan. Pertanyaan yang membuat peserta harus memilih antara acara OSIS yang besar, dengan keluarga. Mika dengan pasti menjawab keluarga. Tanpa ragu. Kami yang memberikan pertanyaan hanya tersenyum mendapat jawaban itu.
            “Memang OSIS segalanya, tapi keluarga di atas segalanya.” Jawaban Mika lantang.
            Setelah mendengar jawaban Mika, tiba-tiba kepalaku pusing, dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
            ***
            Pukul 4 pagi acara jurit malam selesai, beberapa siswa muslim diminta menunggu di mushola sekolah. Banyak yang melakukan sholat tahajud disana sambil menunggu adzan subuh. Sementara Mika meminta diri untuk menjagaku di ruang UKS sampai aku cukup kuat untuk beraktifitas kembali.
            “Kamu istirahat dulu aja ya Din. Kalau sudah kuat, kamu bisa nyusul ke mushola bareng Mika buat sholat subuh berjamaan.” Kata Lia.
            “Iya, istirahat dulu aja.” Kata teman OSIS yang lain.
            “Mika mau nunggu Andini disini?” Tanya Nesa.
            “Iya, kalian duluan aja.” Jawabnya.
            Setelah itu tinggal aku dan Mika di ruang UKS.
            Beberapa menit lamanya Mika diam, padahal aku sudah terbangun sejak tadi.
           
            “Kenapa bisa sampai pingsan?” Tanya Mika tiba-tiba. Wajahnya begitu dingin, terlihat begitu marah.
            “Mungkin aku kurang minum, dehidrasi. Hehe” Kataku.
            “Kamu udah sakit sejak kelas satu kan? kenapa gak jaga kesehatan?”
            “Siapa yang cerita aku sakit?” Tanyaku heran.
            Selama ini tidak ada satupun orang yang tau aku sakit kecuali keluargaku.
            “Nenek…” Jawab Mika tanpa menoleh ke arahku.
            Kenapa Neneknya tau aku sakit?
            “Kok nenekmu tau aku sakit?” Tanyaku heran.
            Tiba-tiba Mika bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku.
            “Dengarkan aku baik-baik, tolong jaga kesehatanmu. Karena sikapmu ini, bisa jadi seorang anak tidak mengenal Ibunya dan seorang suami kehilangan kebahagiaannya seketika. Jadi, tolong jaga kesehatanmu.” Kata Mika sambil meninggalkan ruang UKS. Meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong.
           
            Aku berjalan ke mushola saat mendengar adzan subuh, kemudian mengambil air wudhu dan duduk disamping Mika. Mika menengok ke arahku.
            Setelah rokaat terakhir dan kami semua bersalaman, orang terakhir yang bersalaman denganku adalah Mika. Aku memeluknya dan membisikan sesuatu di telinganya.
            “Maafkan aku Mika, maafkan Ibu.” Kataku.
            Mika menangis tersedu-sedu mendengar perkataanku.
            ***
            Setelah selesai olahraga dan sarapan pagi, acara selanjutnya adalah outbond. Kami semua telah mengganti seragam dengan pakaian olahraga lalu berjalan bersama-sama mengelilingi perkampungan.
            Seperti biasa, tiap tempat ada pos, dan tiap pos ada permainan yang harus mereka ikuti. Permainan kerjasama, kepemimpinan dan pengetahuan. Merangkak dibawah tali, membuat kerajinan dari barang yang ditemui, sampai memecahkan teka-teki yang panitia buatkan. Setelah selesai, pakaian peserta sudah tampak dipenuhi lumpur dan wajah mereka sangat berantakan. Tapi inilah kenangan yang mahal harganya.
            Selesai outbond peserta merapikan diri dan memasuki materi terakhir di ruangan. Semua peserta sudah kembali cantik dan tampan. Materi terakhir ini sekaligus juga dengan acara penutupan.
            Setelah kejadian di mushola, Mika tidak banyak bicara dan aku juga tidak berani bertanya. Mungkin sekarang bukan saat yang tepat.
            Tiba di penghujung acara terakhir, acara penutupan. Semua bersalaman dan masing-masing meningglkan sekolah untuk pulang, sementara para panitia berkumpul untuk melakukan evaluasi.
            Evaluasi selesai pukul 15.00 sore. Kami semua bergegas pulang. Saat hendak pulang dan menyalakan motor, ku lihat Mika masih ada di sekolah, masih berdiam diri di tempat biasa dia menunggu jemputan. Dia menoleh dan tersenyum padaku. Ku kira dia masih marah. Akupun berjalan mendekatinya.
            “Mika…” Sapaku.
            “Hemm?” Tanyanya.
            “Mika marah?” Tanyaku.
            “Marah kenapa? kamu gak punya salah apa-apa.” Katanya.
            “Maaf ya soal yang semalam. Aku cuma terbawa suasana. Maaf juga karena aku sering bertingkah kayak anak kecil.” Kataku.
           
            “Aku kesini cuma buat satu tujuan, mengingatkanmu.”
            “Maksudnya?” Aku bingung.
            “Jika aku bercerita, berarti ini adalah hari terakhirku disini. Hemmh…” Katanya.
            “Kamu mau kemana?” Tanyaku.
            “Jangan pura-pura gak tau…”
            Hening sejenak…
            “Aku tau, tapi hal seperti itu tidak mungkin ada…” Kataku.
            “Hal seperti apa?” Tanya Mika.
            “Hal seperti sihir, keajaiban… itu tidak mungkin ada.” Kataku.
            “Yakin?”
            “Entahlah… selama yang aku tau, aku gak pernah lihat langsung.” Kataku.
           
            “Hari itu, saat pulang sekolah setelah pembagian rapor. Ayah sudah di rumah. Dia bilang kalau ada titipan dari Ibu untukku saat aku masih kecil. Sebuah liontin. Isinya fotoku dan Ibu. Ada sebuah surat yang mengatakan bahwa liontin itu bisa membawaku ke jaman Ibu masih SMA hanya dengan mengecupnya. Beberapa hari aku membiarkan liontin ini. Sampai akhirnya aku  mencobanya, tiba-tiba aku sudah disini sebagai siswi baru…” Katanya.
            “Hemmh, jadi kamu masuk ke kelasku dengan cara itu? kenapa saat di kelas kamu menangis?” Tanyaku.
           
            “Karena aku sadar…”
            “Sadar apa?”
             
          “Sadar bahwa aku bertemu dengan Ibu di kelas itu… sadar bahwa impianku benar-benar terkabul. Sadar bahwa aku bertemu denganmu saat kamu masih SMA. Kau tau, rasanya aku sangat ingin memelukmu saat itu juga, mengatakan bahwa aku rindu padamu. Tapi, aku sadar bahwa jika aku melakukannya, maka aku akan segera menghilang… maaf Ibu. Kamu adalah Ibuku, Ibu yang sangat kurindukan… maaf…” Katanya sambil menangis.
            Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Walaupun aku menyadari ada yang aneh, tapi… aku tidak pernah menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi kepadaku.
            “Mika… jika itu benar… aku akan mengatakan ini sekarang…”
           
            “Ibu bangga telah melahirkan anak sehebat kamu, anak yang kuat dan mandiri. Pintar, cantik dan yang penting kamu menyayangi Ibu. Maafkan Ibu karena meninggalkanmu saat kamu masih sangat kecil, tapi seperti yang kamu tahu, Ibu sakit sudah sejak lama. Kecil kamungkinannya untuk sembuh. Yang harus kamu tau sekarang adalah bahwa Ibu menyayangimu, Ibu bangga padamu.” Kataku.
            Mika menangis dan memelukku dengan erat. Aku mengusap rambutnya dan mengecup keningnya. Mika semakin menangis…
            “Sekarang, kamu tau kan perasaan Ibu seperti apa. Ibu bersyukur telah melahirkanmu, dan Ibu bangga padamu. Jangan ada penyesalan ya Mika.” Kataku lagi.
            Mika mengangguk sambil tersenyum. Ia berdiri dan mengucapkan terima kasih. Aku juga ikut berdiri.
            “Jadi, inilah ahirnya Bu, aku akan kembali ke masaku. Terima kasih untuk beberapa hari ini. Mika sayang Ibu…”
            Setelah mengucapkan itu Mika menghilang dan menjatuhkan liontinnya tepat ke tanganku.
            “Mika, kita akan bertemu lagi… anak kebanggaan Ibu.”
            ***
            Setelah hari itu, tidak ada yang mengingat kehadiran Mika kecuali aku. Aku akan mengingatnya sampai kapanpun. Anakku yang membanggakan…
***TAMAT***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar