Siang itu aku
berjalan seorang diri di tengah siraman air hujan. Jalan-jalan yang berlubang
terisi sebagian oleh air hujan. Air yang menggenang itu menatap langkahku yang
setengah terseret-seret. Aku sesaat berhenti, lalu menatap jalan tol Jagorawi
yang tepat berada disamping jalan kecil yang kulalui setiap hari untuk ke
kampus. Kulihat mobil-mobil berjalan cepat, seakan mengejar sesuatu, atau
dikejar sesuatu. Entah apalah itu.
Kulanjutkan
langkahku, hujan semakin deras membasahi sebagian tubuhku. Sesekali aku
mengatur nafasku, berharap kejadian beberapa minggu lalu tidak terulang.
Seorang
kakek tengah mengatur barisan lidinya, merapikan tiap helai daun kelapa tua
untuk lidi yang akan dia jual. Berharap agar ada yang membelinya.
Tangan keriputnya
memperlihatkan betapa kerja keras selama berpuluh-puluh tahun itu tidak berbuah
apa-apa. Bajunya compang camping dan kumal.
Sesaat
aku berpikir, saat si kakek sebatang kara ini meninggal, apakah ada orang yang
akan memandikan jenazahnya, mengafaninya, menyolatkannya lalu menguburkannya?
Karena sepanjang yang aku lihat, si kakek hanya sendirian tanpa siapapun.
Hampir setiap hari kulihat si kakek ditempat itu, membuat sapu lidi.
Lamunanku
berhamburan, pintu kamar kost yang sudah beberapa minggu kutempati ini sudah di
depan mata. Tanganku meraba-raba seisi tas mencari sepotong besi yang diatur
agar dapat menyatu dengan lubang yang setiap hari menunggunya. Ya, sebuah
kunci. Setelah beberapa lama, akhirnya aku menemukannya dan berhasil membuka pintu.
Kamar
yang tidak terlalu besar, namun nyaman ini menjadi tempat beristirahat
favoritku selama kuliah. Kurebahkan tubuh lemahku di kasur berwarna merah
dengan gambar kartun beberapa ekor tikus.
Aku menatap kosong
kearah langit-langit. Saat itu yang aku pikirkan adalah mengenai si kakek tua
renta tadi.
Jika...
jika saja hal itu menimpaku sekarang? Aku mati sendirian di kamar dan mayatku
ditemukan beberapa hari setelahnya dalam keadaan membusuk. Bagaimana?
Pikiran
buruk itu terus menghantuiku semenjak terakhir mengunjungi dokter dan mendengar
bahwa ginjalku tidak berfungsi dengan baik lagi. Bahwa penyakit ini bisa kapan
saja merenggut nyawaku jika tidak dioperasi. Hanya tuhan yang tahu kapan
tepatnya aku akan digiring ke akhirat.
Hari
ini, pikiranku kacau balau. Merasa sendirian lagi, merasa seakan aku tak ada di
dunia ini. Tak ada yang mengingatku sama sekali. Bahkan sebuah senyumanpun tak
ada yang mendarat untukku. Aku cukup kuat menahan kesendirian. Tanpa teman
bertahun-tahun dulu.
Saat ini, seharusnya
aku mempunyai seorang sahabat yang akan ada disisiku menyemangatiku menghadapi
penyakitku ini. Namun aku hanyalah sebuah karang kecil diantara ribuan karang
indah yang besar dan penuh warna.
Harapanku
tak akan pernah sesuai kenyataan. Padahal, sejujurnya harapanku adalah memiliki
sahabat yang akan merangkulku saat aku kesakitan, memandang wajahku dengan
senyuman saat mungkin nafas terakhirku kuhembuskan nanti. Aku hanya butuh
support dan pelukan hangat seorang sahabat.
Yah,
jangan terlalu berharap tinggi. Karena saat kau terjatuh, segalanya akan
musnah. Jangan terlalu berharap mendapat perlakuan istimewa dari orang yang kau
sebut sahabat itu, karena dia juga memiliki hal yang jauh lebih penting
daripada meladeni kemanjaanmu. Iya, sebuah kemanjaan. Memanjakan penyakit yang
tidak seberapa itu.
***
Beberapa minggu
berlalu semenjak hari itu. Aku merasakan hal yang tidak seperti biasanya.
Mungkin ini waktunya aku pulang.
Pintu kamar kostan
itu sudah ku tutup, kulihat tirai sedikit terbuka. Tak apalah.
Pesan terakhir yang
kukirimkan adalah permintaan maaf untuk semua orang yang pernah aku lukai baik
sengaja maupun tanpa unsur kesengajaan terutama kepada kedua orang tuaku dan
sahabatku. Mereka banyak yang bertanya alasan pesan itu kukirimkan. Namun tidak
pernah aku balas.
Cahaya itu tiba-tiba
menyilaukan, lalu redup dan menjadi gelap pekat. Suara-suara sekitar yang tadi
terdengar riuh, kini lenyap tak tersisa. Hanya itu, dan tak ada apa-apa lagi.
Akhirnya aku dan kesendirian lah yang tersisa...
Ceritanya seperti nyata...
BalasHapusApa ini memang benar adanya ??
Iya kayaknya, soalnya Saya juga ikut merasakan setiap bagian Dari cerita ini
Hapus