Jumat, 17 Februari 2017

Cerpen : AKU DAN KESENDIRIAN





Siang itu aku berjalan seorang diri di tengah siraman air hujan. Jalan-jalan yang berlubang terisi sebagian oleh air hujan. Air yang menggenang itu menatap langkahku yang setengah terseret-seret. Aku sesaat berhenti, lalu menatap jalan tol Jagorawi yang tepat berada disamping jalan kecil yang kulalui setiap hari untuk ke kampus. Kulihat mobil-mobil berjalan cepat, seakan mengejar sesuatu, atau dikejar sesuatu. Entah apalah itu.
          Kulanjutkan langkahku, hujan semakin deras membasahi sebagian tubuhku. Sesekali aku mengatur nafasku, berharap kejadian beberapa minggu lalu tidak terulang.
          Seorang kakek tengah mengatur barisan lidinya, merapikan tiap helai daun kelapa tua untuk lidi yang akan dia jual. Berharap agar ada yang membelinya.
Tangan keriputnya memperlihatkan betapa kerja keras selama berpuluh-puluh tahun itu tidak berbuah apa-apa. Bajunya compang camping dan kumal.
          Sesaat aku berpikir, saat si kakek sebatang kara ini meninggal, apakah ada orang yang akan memandikan jenazahnya, mengafaninya, menyolatkannya lalu menguburkannya? Karena sepanjang yang aku lihat, si kakek hanya sendirian tanpa siapapun. Hampir setiap hari kulihat si kakek ditempat itu, membuat sapu lidi.
          Lamunanku berhamburan, pintu kamar kost yang sudah beberapa minggu kutempati ini sudah di depan mata. Tanganku meraba-raba seisi tas mencari sepotong besi yang diatur agar dapat menyatu dengan lubang yang setiap hari menunggunya. Ya, sebuah kunci. Setelah beberapa lama, akhirnya aku menemukannya dan berhasil membuka pintu.
          Kamar yang tidak terlalu besar, namun nyaman ini menjadi tempat beristirahat favoritku selama kuliah. Kurebahkan tubuh lemahku di kasur berwarna merah dengan gambar kartun beberapa ekor tikus.
Aku menatap kosong kearah langit-langit. Saat itu yang aku pikirkan adalah mengenai si kakek tua renta tadi.
          Jika... jika saja hal itu menimpaku sekarang? Aku mati sendirian di kamar dan mayatku ditemukan beberapa hari setelahnya dalam keadaan membusuk. Bagaimana?
          Pikiran buruk itu terus menghantuiku semenjak terakhir mengunjungi dokter dan mendengar bahwa ginjalku tidak berfungsi dengan baik lagi. Bahwa penyakit ini bisa kapan saja merenggut nyawaku jika tidak dioperasi. Hanya tuhan yang tahu kapan tepatnya aku akan digiring ke akhirat.
          Hari ini, pikiranku kacau balau. Merasa sendirian lagi, merasa seakan aku tak ada di dunia ini. Tak ada yang mengingatku sama sekali. Bahkan sebuah senyumanpun tak ada yang mendarat untukku. Aku cukup kuat menahan kesendirian. Tanpa teman bertahun-tahun dulu.
Saat ini, seharusnya aku mempunyai seorang sahabat yang akan ada disisiku menyemangatiku menghadapi penyakitku ini. Namun aku hanyalah sebuah karang kecil diantara ribuan karang indah yang besar dan penuh warna.
          Harapanku tak akan pernah sesuai kenyataan. Padahal, sejujurnya harapanku adalah memiliki sahabat yang akan merangkulku saat aku kesakitan, memandang wajahku dengan senyuman saat mungkin nafas terakhirku kuhembuskan nanti. Aku hanya butuh support dan pelukan hangat seorang sahabat.
          Yah, jangan terlalu berharap tinggi. Karena saat kau terjatuh, segalanya akan musnah. Jangan terlalu berharap mendapat perlakuan istimewa dari orang yang kau sebut sahabat itu, karena dia juga memiliki hal yang jauh lebih penting daripada meladeni kemanjaanmu. Iya, sebuah kemanjaan. Memanjakan penyakit yang tidak seberapa itu.
          ***
Beberapa minggu berlalu semenjak hari itu. Aku merasakan hal yang tidak seperti biasanya. Mungkin ini waktunya aku pulang.
Pintu kamar kostan itu sudah ku tutup, kulihat tirai sedikit terbuka. Tak apalah.
Pesan terakhir yang kukirimkan adalah permintaan maaf untuk semua orang yang pernah aku lukai baik sengaja maupun tanpa unsur kesengajaan terutama kepada kedua orang tuaku dan sahabatku. Mereka banyak yang bertanya alasan pesan itu kukirimkan. Namun tidak pernah aku balas.
Cahaya itu tiba-tiba menyilaukan, lalu redup dan menjadi gelap pekat. Suara-suara sekitar yang tadi terdengar riuh, kini lenyap tak tersisa. Hanya itu, dan tak ada apa-apa lagi. Akhirnya aku dan kesendirian lah yang tersisa...

2 komentar:

  1. Ceritanya seperti nyata...

    Apa ini memang benar adanya ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kayaknya, soalnya Saya juga ikut merasakan setiap bagian Dari cerita ini

      Hapus