Gadis
itu membawaku ke sebuah danau. Aku masih memegang biola yg dia titipkan padaku saat kami
hendak menyebrangi danau tersebut.
Dari
tempatku duduk kulihat dia mengayuh perahu kecil ini ke tengah danau. Mengambil
biola yg sedari tadi kupegang tanpa ku tahu mau diapakan biola tersebut.
Wajahnya
tersenyum padaku, begitu manis. Disaat hembusan angin lembut membelai rambut
panjangnya, ia pun memainkan biolanya.
#(String quartet no
14 in c sharp minor Ludwig van Beethoven)
Suara
biola yg begitu indah mengalun memanjakan telingaku, seakan aku dapat tertidur
dengan nyenyaknya ditempat ini. Betapa mahir ia memainkan biola itu.
Tiba-tiba
perahu yg kami tumpangi terasa bergetar. Akupun terjatuh ke danau dan...
"Sudah
puas tidurnya?" Kata Nakajima dan Fujiiko senior yg telah menyiramku
dengan air minumnya tadi.
"Lain
kali kalau mau tidur, jangan disini? ini tempat anak-anak populer seperti kami
ini, bukan gelandangan macam kamu ini Kamazaki." Fujiiko menambahkan.
Sambil
tertawa puas mereka meninggalkanku sedirian dengan badan basah kuyup.
"Kenapa
harus tertidur ditempat aneh begini sih?" kataku kesal sambil bangun dan
merusaha mengeringkan pakaianku semampuku. Namun sepertinya percuma saja.
Teng... teng...
teng...
Bunyi
lonceng tanda masuk sekolah telah berbunyi. Akupun berlari meninggalkan tempat
itu. Sambil berlari aku menoleh ke arah danau.
“Danau yg sama,
seperti di mimpiku...” gumamku.
***
“Anak-anak,
hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan namamu.” Bu Kawako
memperkenalkan gadis tersebut.
“Nama
saya Megumi Natsukawa. Mohon bimbingannya.” Katanya lembut.
Hari
itu sekolah begitu ramai, katanya ada murid pindahan dari Tokyo. Gadis yang
begitu cantik, dan langsung menjadi primadona sekolah ini.
Sedangkan
aku, masih berdiam diri di kelas. Sudah kupakai jaket, namun belum juga
membantuku. Aku masih kedinginan.
“Sepertinya
aku masuk angin.. haa.. hatchiih..” lebih tepatnya aku terkena flu.
Ini terlalu dingin, sebentar lagi
musim dingin, dan aku malah disiram air es. Payah sekali aku ini.
“Lebih baik aku mencari minuman
hangat di kantin, paling tidak bisa menghilangkan rasa dinginku.” Akupun
beranjak dari kelas menuju kantin.
Kantin begitu ramai, saat istirahat
begini memang kantin adalah tempat yg paling disenangi para murid. Ya...
terlebih lagi, di kantin ini tidak ada kakak senior yg kejam itu. Mereka pasti
sedang di taman, menikmati indahnya pemandangan danau. Tapi apa mereka mengerti
arti keindahan? Sikap mereka padaku tidak ada indahnya sama sekali.
“Arigato..” kataku.
Coklat hangat sudah ada di tanganku.
Akupun duduk di kursi paling pojok, dari tempat itu aku bisa melihat pohon
sakura yg belum juga berguguran bunganya. Indah sekali...
“Ano... bolehkan aku duduk di sini?”
kata seseorang membuyarkan lamunanku.
“Eh??? Hai... silahkan.” Kataku
mengangguk cepat, lalu bergeser.
“Disini masih ada bunga sakura yg
bermekaran ya. Indah sekali...” Katanya melanjutkan.
Gadis ini begitu cantik, tinggi dan
kulitnya putih. Rambut hitam panjang se-pinggul terurai indah. Sedangkan aku?
Tinggi standar, kulit tidak hitam-hitam amat sih, rambutku sebahu, ditambah
kacamata minus 2.5-ku ini.
“Kamu...” katanya membuyarkan
lamunanku.
“Ne?... ah iya berat badanku 43 kg.”
Kataku bersemangat.
“Hahaha apa aku bertanya tentang
berat badanmu tadi?” katanya sambil tersenyum.
Aduh... kenapa aku ini, memalukan
sekali.
“E.. to.. sepertinya tidak ya.
Hihihi gomen-ne.” Kataku, malu-malu.
“Ya tidak apa-apa. Ngomong-ngomong
kamu kelas berapa?” tanyanya.
“Aku kelas 2-a. Kamu?”
“Aku kelas 3-c. Salam kenal, aku
baru disini.” Katanya.
“Ooh... senpai toh.” Kataku
mengangguk-angguk.
“Yaaa, bisa dibilang begitu. Boleh
kutahu namamu? Namaku Megumi Natsukawa.”
“Aku Yuri Kamazaki. Oh,
Megumi-senpai. Salam kenal.”
Hari itu kami habiskan untuk mengobrol
tentang banyak hal. Megumi-neechan sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Walaupun dia senior, namun
begitu baik padaku. Seperti menemukan kakak perempuan yg tidak pernah kumiliki
sebelumnya. Aku ini anak satu-satunya
di keluargaku, karena aku hanya tinggal dengan Ibuku. Ayah
sudah lama meninggal saat berlayar di laut 10 tahun lalu. Jadi, begitu
menyenangkan dapat mengobrol dengan seseorang yg bisa dijadikan kakak.
Megumi-neechan... sangat mirip
dengan gadis yang sering hadir di mimpiku. Hal itu yang baru kusadari saat
pulang sekolah. Gadis pemain biola.
Keesokan harinya aku mengajak
Megumi-senpai berkeliling gedung sekolah, aku mengenalkannya banyak tempat,
termasuk danau. Tanpa basa-basi, dia menarik tanganku lalu mengajakku mendekati
danau itu. Tapi ditengah jalan, Nakajima dan Fujiiko menghadang kami. Sepertinya
mereka hendak menyakiti Megumi dan aku disini. Aku memang selalu jadi
bulan-bulanan mereka. Selain karena mereka besar-besar, mereka juga jago bela
diri.
“Hei Kau! Kenapa bermain dengan anak
ini? Dia itu culun, miskin lagi.” Tanya Fujiiko sambil mendorong kepalaku.
Aku tak berani melawan. Bisa-bisa
aku babak belur dan terus jadi bulan-bulanan mereka.
“Memang masalahnya apa?” Tanya
Megumi.
Baru kali ini kulihat wajah Megumi
begitu dingin. Sepertinya ia benar-benar marah. Padahal kedua anak itu tidak
melakukan apapun padanya.
Aku melihat tangannya mengepal
begitu kencang. Sepertinya ia menahan marah yg amat sangat.
“Mau apa kau? Menghajar kami?” Tanya
Nakajima sambil cengengesan.
“Iiih takuut... Hahaha...” Kata
Fujiiko membuat emosi Megumi semakin menjadi.
Megumi mengendurkan kepalannya, lalu
tersenyum...
“Tidak... bahkan tanpa aku menghajar
kalianpun, kalian akan merasakan sakitnya.” Jawabnya datar.
Mendengat kalimat aneh yg terucap
dari mulut Megumi, Nakajima merasakan ada yg janggal dengan Megumi. Ia pun mengajak
Fujiiko meninggalkan kami dengan terburu-buru.
“Megumi-neechan?” tanyaku ragu-ragu.
“Iya Yuu-chan?” jawaban yg berbalik
bertanya.
“Kau tidak apa-apa?” Tanyaku ragu.
“Aku baik-baik saja. Ayo tinggalkan
tempat ini, sebentar lagi bel akan berbunyi.” Katanya.
Dia menarik tanganku. Tangannya
begitu dingin,
malah terkesan seperti es.
“Baiklah...” Kataku menurut saja.
Keesokan harinya aku
tidak melihatnya dimanapun di sekolah. Aku khawatir padanya. Jangan-jangan dia
disakiti oleh kedua kakak kelas jahat itu. Hemmh bagaimana ini?
Akupun berjalan ke
kantin, setelah membeli susu coklat hangat kesukaanku akupun duduk ditempat
favoriteku. Sepertinya sudah mulai memasuki musim dingin. Beberapa hari lagi
ulang tahunku. Sedikit menyedihkan juga saat-saat seperti ini tidak punya
pacar.
“Hahaha payah…” Kataku.
“Siapa yang payah
Yuu-chan?” Kata seseorang yg kemudian duduk disampingku.
Aku menoleh…
“Eh?... ah tidak Megumi-neechan.
Aku hanya melamun. Teringat kalau 3 hari lagi ulang tahunku. Hehe tapi tidak
apa-apa, jangan khawatir. Ngomong-ngomong Neechan habis darimana?” Tanyaku.
“Hemm… aku baru saja
mengikuti kegiatan music.” Katanya sambil menunjukkan tas alat musiknya.
“Ano… itu alat music
apa?” Tanyaku penasaran. Mungkinkah biola seperti mimpiku itu?
Megumi-neechan pun
membukanya perlahan, dan…
“Ini biola. Mau
mendengarkan aku memainkannya Yuu-chan?” Tanyanya pelan.
“Eh… eto… jika boleh.”
Kataku bingung.
Ya bingung, karena
semakin ke sini semakin sesuai dengan mimpiku.
Tiba-tiba tanganku
digenggamnya…
“Akan kuperlihatkan…”
Katanya sambil menarikku pergi dari tempat itu.
Sepertinya aku tahu aku
akan dibawa kemana. Kataku dalam hati.
“Ini… danau?” Tanyaku setengah
tak percaya.
Danau ini yg ada
dimimpiku, begitu jelas, persis sama.
“Yuu-chan, kesini! Kita
naik perahu ini.” Katanya sambil melambaikan tangan.
Akupun berjalan
mendekatinya. Perlahan menaiki perahu tersebut.
“Kita ke tengah ya…”
Katanya.
Aku hanya mengangguk.
Aku tidak tahu mengapa ini benar-benar terjadi. Mengapa mimpiku menjadi
kenyataan? dan mengapa aku sama sekali tidak bisa menolak permintaannya?
Akhirnya kami sampai di
tengah danau itu. Megumi-neechan mulai memainkan biolanya. Ia tersenyum… lalu
lagu itupun diputar… lagu yang sama dengan mimpiku. Aku tidak bisa bergerak…
seakan aku diikat kencang, aku mematung diatas perahu itu saat lagu itu
dimainkannya.
Tiba-tiba danau yang
tadinya bening tersebut berubah warnanya menjadi merah… menjadi merah darah…
Aku panik, aku ketakutan, namun tidak juga bisa bergerak, atau sekedar
bersuara.
Lagu itu hampir habis…
aku ingin berteriak meminta tolong.
“Tidaaaaaaakkk!!!”
Teriakku.
Brugg!
Aduuhh… Eh? Aku
terjatuh dari kursi kantin. Bukan di danau…
Mimpi ini mulai
menyeramkan.
“Untung hanya mimpi.
Menakutkan sekali.” Kataku sambil mengusap-usap kepalaku.
“Eh… ada sesuatu di
danau, ayo kita lihat!” Kata beberapa orang sambil berlari ke arah danau.
“Iya, katanya ada
mayat.” Kata orang yang lain mengikuti.
“Hah? Ada mayat di
danau?” Tanyaku pada salah seorang yang sedang berlari.
“Iya, mayat dua orang
gadis. Sepertinya kakak kelas tiga. Ayo kita lihat!” Katanya.
Akupun ikut berlari
bersama mereka menuju danau.
Setibanya di danau, aku
melihat ada dua gadis di atas perahu, berlumuran darah, darah itu keluar dari
mulutnya. Mengerikan sekali.
“Siapa yang melakukan
ini? Mengerikan sekali?” Kata seseorang yang ada disebelahku.
“Iya siapa yang tega
melakukan ini?” Kata anak yang lain.
Aku merasa lemas…
Beberapa waktu kemudian
polisipun datang dan memeriksa tempat kejadian. Katanya tidak ditemukan jejak
kaki basah ataupun yang lainnya disana. Sedangkan mayat ditemukan ditengah
danau, bagaimana caranya membunuh tanpa menyentuh mayat?
“Benar-benar mengerikan…
siapa yang melakukannya?” Tanya seseorang disebelahku bertanya padaku.
Tanpa menoleh aku
menjawab.
“Aku tidak tahu, kata polisi, pembunuhan itu
dilakukan dengan cara yang mustahil.”
“Bukankah yang meninggal itu Fujiiko dan
Nakajima? Mereka memang pantas mendapatkan itu.!” Katanya.
Mendengar pernyataan yang mengejutkan itu,
akupun menoleh.
“Me.. Megumi-neechan?!” Kata-kata itu keluar
begitu saja dari mulutku.
“Iya, kenapa Yuu-chan?” Katanya sambil
tersenyum padaku.
Aku perlahan-lahan mundur… lalu berlari
meninggalkan tempat itu. Ini terlalu mengerikan.
Aku pergi ke kelas, duduk di kursiku lalu
mengenakan headset, kuputar lagu rock. Semoga membuatku tenang.
“Ini semua tidak terjadi, itu hanya mimpi…
tidak mungkin Megumi yang melakukan itu. Tenang Yuri, tenang…” Kataku dalam
hati.
“Hei… kata polisi mayat itu jantungnya bubuk di
dalam tubuhnya!. Bagaimana bisa begitu?” Kata seseorang di depan pintu masuk
dilanjutkan oleh orang disebelahnya.
“Iya aneh, keduanya sama.” Lanjut teman
sebelahnya.
Aku mulai merinding…
Walaupun aku sudah
memaksimalkan suara music ini, namun tetap saja suara mereka terdengar. Aku
semakin panik… ada yang tidak masuk akal disini. Aku merasa aku tahu siapa yang
melakukannya…
“Yuu-chan?” Tanya
seseorang disebelahku.
Mengejutkan… saat
kutengok…
“Me… Megumi-neechan?!”
Kataku seraya berdiri dengan cepat.
“Kenapa kau ini?
Tiba-tiba berlari dan seperti yang ketakutan begitu?” Tanya Megumi.
“A… aku baik-baik
saja…” Kataku.
Megumi pun duduk tepat
di samping tempatku berdiri. Lalu tersenyum…
“Aku menyayangimu Yuu-chan.
Aku tidak akan melakukan itu padamu.” Kata-kata itu justru membuatku semakin
panik.
“Ja.. jadi? Kau yang
melakukan itu?!” Tanyaku sedikit berteriak.
Seketika waktu terasa
berhenti. Megumi kemudian tersenyum lagi, berdiri dari tempatnya duduk tadi.
Dia mengangkat tangannya, lalu diletakkan diatas kepalaku. Aku ketakutan bukan
main. Namun ia hanya mengusap kepalaku seraya berkata…
“Tidak ada yang boleh
menyakitimu, adikku. Jika ada, mereka akan bernasib sama dengan kedua wanita sialan
itu!…” Perkataan Megumi membuatku lemas tak berdaya.
“A… adik?” Kataku
pelan. Sepertinya tatapanku kosong…
“Hemm.. iya kamu
adikku. Ayah kita mati di laut saat ia bersamaku. Mungkin kau tidak tahu, saat
itu ia hendak menjualku. Uangnya akan ia bawa pulang untuk berjudi lagi. Saat
uang untuk judi habis, ia akan kembali membawamu dan menjualmu juga. Ibu tak
pernah tahu hal ini. Ayah juga tidak tahu bahwa aku bisa mengendalikan air.
Maka kubuat ombak besar dan menenggelamkan kapalnya. Semua itu agar ia tidak
menjualmu juga adikku.” Katanya dengan tatapan lembut sambil kembali mengusap
rambutku.
“Lalu, yang terjadi
dengan Fujiiko dan Nakajima?!” Tanyaku masih gemetaran.
“Hahaha mudah, jantung
itu 99% terbuat dari air, tinggal kuhancurkan. Mereka sudah cukup menyakitimu
selama ini. Orang-orang bodoh itu.!” Katanya lagi.
“Kakak?” Kataku pelan.
“Iya Yuu-chan?” Katanya
sambil kembali tersenyum.
“… aku tidak pernah
memintamu untuk membunuh. Aku tidak pernah punya kakak sejahat dirimu… kakak
tidak akan mau membunuh…”
#FLASHBACK
“Yuu-chan! Jangan
dibunuh ulatnya. Kasihan.” Kata Megumi sambil tersenyum melihat tingkahku.
“Tapi… ulat ini
membuatku gatal Megu-neechan.” Kataku merengek sambil garuk-garuk gatal.
“Tetap tidak boleh dibunuh.
Nanti ulat ini akan jadi kupu-kupu yang indah, kamu pasti suka. Pakai minyak
anti gatal saja, pasti sembuh. Setiap makhluk yang bernyawa tidak boleh
disakiti. Ingat kata-kata kakak ya Yuu-chan.” Kata Megumi sambil mengusap
rambutku.
“Megumi-chan! Ayo kita
berangkat. Kapalnya akan segera berangkat, kita harus segera ke dermaga.” Kata
Ayah.
“Hai... Yuu-chan,
sampai jumpa lagi. Ingat pesan Kakak yaa.” Kata Megumi seraya pergi bersama
Ayah.
Sejak saat itu ia tak
pernah kembali lagi…
#FLASHBACK END
“Kakak ingat itu? Kakak
yang tega membunuh bukan kakakku…!” Kataku sambil menunduk.
Tak terasa air mataku
mengalir, menetes membasahi pipiku. Tak kusangka… Kakak yang selama ini
kutunggu, kakak yang selama ini merupakan orang paling baik hati, tega melakukan
itu…
“Yuu-chan?” Tanya
Megumi kembali.
“Y.. ya?” Jawabku
pelan.
“Bagaimana caraku untuk
kembali menjadi kakakmu yang dulu? Tanganku sudah kotor Yuu-chan.” Katanya.
“Aku tidak tahu
Megumi-neechan. Aku tidak tahu…” Jawabku
Setelah mendengar
perkataanku, Megumipun pergi dari kelas itu. Sejak saat itu aku tidak pernah
mendengar kabarnya lagi. Ia tidak pernah kembali ke sekolah… atau terlihat
dimanapun…
Ini bukan ending yang
menyenangkan…
***
Beberapa tahun kemudian…
“Aaaahhh… skripsi
memang memusingkan...!” Teriakku.
“Hei, Yuuri, berhenti
berteriak bagitu. Aku tahu skripsi memang memusingkan. Bagaimana kalau kita
main ke gunung bersama club pecinta alam?” Kata Iwasawa temanku di kampus.
“Malas…” Kataku ketus.
“Ish… ini juga bisa
jadi referensi untuk skripsimu. Masalah yang kau ambil tentang air-air begitu
kan? Di gunung ini aku dengar ada danau dan sungai juga, jadi mungkin bisa
membantumu…” Kata Iwasawa menambahkan.
Ia memang cerewet,
sahabatku yang satu ini.
“Huh! Kau memang paling
bisa membujukku. Baiklah, aku ikut.” Kataku.
“Yeah! Ready go!”
Katanya sambil tersenyum lebar.
***
“Masih jauh kah
tempatnya?” Teriakku pada Iwasawa.
“Sebentar lagi. Ini
gara-gara kamu kelamaan, jadi kita ditinggal.” Kata Iwasawa.
Sepertinya kami
tersesat, sedari tadi hanya berputar-putar.
“We’re lost!” Kataku
padanya.
“Tidak, aku rasa…”
Katanya terlihat tidak yakin.
Aku melihat langit,
sudah hampir gelap.
“Hei Iwasawa-chan… sepertinya sudah hampir
malam. Kita bangun tenda disini saja, tanahnya juga datar kok.” Kataku.
“Hemmh, ya sudah lah. Untung kita bawa tenda
sendiri.” Katanya.
Kamipun membangun tenda disana. Kami juga
membuat api unggun untuk menghangatkan diri, dan mengusir binatang liar. Karena
mengantuk, akhirnya kamipun memutuskan untuk segera tidur di tenda.
***
Pukul 05.00 pagi aku terbangun. Masih sedikit
gelap disini. Sungai di dekat sini dimana ya? Mau cuci muka. Tanpa membangunkan
Iwasawa aku bangun sendiri dan mencari air di sungai. Tidak terlalu jauh dari
tempatku mendirikan tenda, ternyata ada sebuah sungai kecil. Saat hampir
sampai, aku melihat seseorang tengah bermain air disana. Air-air itu seakan
mengikuti gerakannya.
“Kakak?!” Seketika kata itu keluar dari
mulutku.
Mendengar perkataanku orang tadi berlari
meninggalkan tempat itu. Aku berusaha mengejarnya, namun aku terpeleset dan
tercebur ke air. Untung tidak terlalu dalam, aku hanya basah kuyup.
“Toloooonnggg!!!” Teriakan seseorang dari arah
tenda.
“Iwasawa?!” Kataku.
Aku berlari menuju tenda. Aku terkejut… saat
sampai ditempat tadi, aku melihat semuanya berantakan. Sepertinya ada yang
menculik Iwasawa. Barang-barang kami masih ada disitu. Akupun berlari mencari
jejak mereka kemana membawa Iwasawa.
Setelah cukup jauh… aku melihat beberapa orang
yang sepertinya berasal dari club pecinta alam. Aku mendekatinya…
“Ano… sumimasen…”
Akupun menceritakan semuanya kepada mereka.
Kemudian kami memutuskan untuk mencari Iwasawa bersama-sama, menurut salah satu
dari anggota club itu, memang di hutan ini sering ada penculikan. Namun jika
bersama-sama mereka tidak akan berani menculik kami.
Aku menyesal meninggalkan Iwasawa sendiri.
Akhirnya pencarianpun dimulai. Aku dan semua
anggota club bersama-sama mencari dimana Iwasawa. Sampai akhirnya kami melihat
ada sebuah gudang.
“Mungkin Iwasawa-san ada disana.” Kata salah
satu anggota club itu.
“Aku akan kesana.” Kataku sambil bangun dari
tempatku bersembunyi
“Tunggu dulu, lihat itu!” Kata anggota yang
lain sambil menunjuk sesuatu.
Ternyata anggota penculik Iwasawa itu
menggunakan senjata api, ada yang membawa pistol dan senjata tajam lainnya.
Tiba-tiba…
“Jangan bergerak!” Teriak seseorang dari balik
pepohonan.
Kami semua terkepung dan diikat di dalam gudang
tersebut. Sekarang tidak ada yang bisa menolong kami.
“Kita punya banyak budak untuk dijual. Bos
pasti akan senang.” Kata salah satu penjahat berbadan gendut dan berkumis
tebal.
“Iya, kau benar. Hahaha” Kata penjahat yang
lain, yang kepalanya botak.
Aku melihat-lihat sekitarku, aku menemukan
pecahan kaca, dan mengambilnya. Sedikit-demi sedikit tali yang mengikatku aku
potong.
“Yes! Akhirnya terpotong.” Kataku dalam hati.
Aku menunggu para penjahat itu keluar dari
ruangan. Akhirnya mereka pergi dari ruangan tempat kami ditahan. Akupun mulai
mencoba melepaskan tali yang lainnya. Sebelum sempat melepas ikatan yang lainnya
ternyata salah satu penjahat itu kembali dan melihatku lepas.
“Hei! Mau kemana kau?” Teriaknya sambil berlari
mengejarku.
“Lari Yuuri!” Teriak Iwasawa.
Akupun berlari sekencang mungkin, terlihat para
penjahat itu mengejarku. Ada dua orang yang mengejarku, keliahatannya di gudang
itu kurang lebih ada lima orang penjahat. Aku berlari berharap bisa bertemu
dengan seseorang yang bisa menolongku. Tiba-tiba aku tejatuh. Kakiku terkena
akar yang mencuat.
“Sial!” Kataku.
“Hahaha kau tertangkap.” Kata si gendut
berkumis menertawakanku.
“Ayo kita bawa dia kembali ke gudang!” Kata
seorang lagi yang tubuhnya lebih kecil, bisa dibilang juga dia kurus sekali.
“Kau manis sekali… coba kau tidak memakai
kacamata.” Kata si gendut mendekatiku. Ia hampir melepas kacamataku.
Ampun, aku tidak bisa melihat tanpa kacamata
ini. Aku berusaha bangun, namun tampaknya kakiku terkilir. Tiba-tiba sebuah
cahaya kebiruan datang…
Plaakkk!!!
Si gendut tertampar sesuatu. Seperti es…
“Apa itu?” Katanya panik.
Sekali lagi…
Bugg!!!
Sebuah bongkahan es mengenai perut si gendut.
Ia terlihat kesakitan. Si kurus hanya melihat dengan wajah bingung.
Pletaakk!!!
“Aduuuh…” Kepala si kurus dilempar bongkahan es
lagi.
“Siapa kau? Keluar! Dasar pengecut!” Kata si
Gendut marah. Kumisnya naik turun.
Tiba-tiba sebuah bongkahan es berbentuk naga
besar mendatangi mereka, karena takut mereka berlari kucar-kacir meninggalkanku
disana.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya seseorang yang
wajahnya tak terlihat. Ia menutupi wajahnya dengan ciput jaketnya.
“A… aku tidak apa-apa. Arigato…” Kataku.
Aku berusaha bangun, namun kakiku terasa sakit.
Tiba-tiba semuanya gelap… dan…
***
“Emmh… dimana ini…?”
Kataku.
Sepertinya tadi aku
pingsan.
Ini terlihat seperti
sebuah gubuk kecil. Kulihat kakiku dibalut dengan kain. Aku melihat kesana
kemari. Mencari orang yang menolongku tadi.
“Aku harus menolong
Iwasawa dan yang lain…” Kataku sambil berusaha bangun.
“Jangan dipaksakan. Kau
belum boleh berjalan Yuu...” Katanya memotong perkataannya.
“Ka.. Kak Megumi?”
Kataku.
“Iya Yuu-cahn, ini
Kakak, lama tak jumpa.” Katanya membuka penutup kepalanya. Kemudian tersenyum
padaku.
“Kakak, bagaimana kakak
bisa ada disini? Maafkan aku kak… gara-gara aku kakak harus tinggal di tempat
seperti ini.” Kataku merasa bersalah.
“Tidak, ini bukan
salahmu. Kakak disini memang sudah seharusnya. Kakak harus menebus semua
kesalahan Kakak. Kakak harus menolong orang lain, dengan kekuatan Kakak ini.”
Katanya, kembali tersenyum.
“Setelah ini selesai,
kakak harus ikut pulang denganku. Ibu pasti merindukan Kakak.” Kataku lagi.
“Kita selamatkan dulu
teman-temanmu Yuu-chan.” Katanya.
Iapun mengeluarkan
sedikit air dari tempat penyimpanan air, air itu terbang dengan indahnya,
kemudian menutupi kakiku yang terkilir. Setelah beberpa detik, akhirnya kakiku
sembuh lagi.
“Air itu bisa jadi
penyembuh yang paling baik Yuu-chan.” Katanya menjelaskan.
Akhirnya kamipun
berjalan bersama-sama menuju ke tempat teman-teman kami disekap. Ternyata benar
ada 5 orang penjaga disana.
Dengan kekuatan yang
dimiliki Megumi-neechan, beberapa orang berhasil dilumpuhkan. Saat hendak
melepaskan semuanya tiba-tiba Megumi-neechan berhasil ditangkap oleh si bos.
Ia sudah tidak akan
mengendalikan tubuh lagi, walaupun ia bisa, ia tidak ingin membunuh lagi. Ia
sudah berjanji kepadaku.
Si Bos menempelkan
pisau ke leher Megumi-neechan.
“Jangan bergerak, jika
ada yang bergerak, dia akan kubunuh.” Katanya.
Megumi-neechan
tersenyum… Aku tidak mengerti apa maksudnya.
Seketika air dari
segala penjuru tempat datang dan membanjiri gudang itu. Seketika kami semua
lepas. Aku dan yang lain lari keluar. Sepertinya air di sungai dan di danau ia
panggil dan datang membanjiri tempat ini. Megumi-neechan berjalan mendekatiku,
lagi-lagi sambil tersenyum. Dari belakang kulihat si Bos mengacungkan pistolnya
ke arah megumi-neechan. Aku berlari menuju Megumi-neechan, dan…
DOR!!!
Suara tembakan
terdengar di seluruh hutan.
“Kakak!!!”…
“Yuu-chan… maaf. Kakak
tidak bisa membiarkanmu mengorbankan dirimu demi Kakak. Terima kasih sudah
menyayangi Kakak, Yuu-chan. Arigato…” Katanya, sambil tersenyum, lagi-lagi
tersenyum?
“Berhenti tersenyum!
Itu hanya senyum perpisahan. Hentikan!” Kataku berteriak.
Saat hendak kuhalangi
tembakan dari penjahat itu, ternyata Megumi-neechan telah lebih dulu
melindungiku. Dia yang tertembak. Penjahat itu pingsan karena terkena serangan
Megumi-neechan yang terakhir kalinya.
“Arigato, Yuu-chan…”
Katanya sambil menutup mata perlahan dipangkuanku.
“KAKAAKK!!!” teriakku.
…
Andaikan aku bisa
memutar waktu…
***
#NP. String quartet no 14 in c sharp minor Ludwig
van Beethoven
“Yuu-chan… kakak ingin
bisa bermain biola dan memainkan lagu itu untukmu nanti kalau sudah besar. Kamu
mau mendengarnya kan?” Kata Megumi-neechan.
“Tentu saja Kak, nanti
kalau sudah besar. Janji?”… Kataku.
“Iya janji kelingking.
Tidak bisa diingkari…” Kata kakak sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Akupun mengangkat jari
kelingkingku dan mengaitkannya…
“Janji ya Kak…”…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar