Jumat, 17 Februari 2017

Cerpen: Gadis Biola di Tepi Danau





Gadis itu membawaku ke sebuah danau. Aku masih memegang biola yg dia titipkan padaku saat kami hendak menyebrangi danau tersebut.
Dari tempatku duduk kulihat dia mengayuh perahu kecil ini ke tengah danau. Mengambil biola yg sedari tadi kupegang tanpa ku tahu mau diapakan biola tersebut.
Wajahnya tersenyum padaku, begitu manis. Disaat hembusan angin lembut membelai rambut panjangnya, ia pun memainkan biolanya.
#(String quartet no 14 in c sharp minor Ludwig van Beethoven)
Suara biola yg begitu indah mengalun memanjakan telingaku, seakan aku dapat tertidur dengan nyenyaknya ditempat ini. Betapa mahir ia memainkan biola itu.
Tiba-tiba perahu yg kami tumpangi terasa bergetar. Akupun terjatuh ke danau dan...
"Sudah puas tidurnya?" Kata Nakajima dan Fujiiko senior yg telah menyiramku dengan air minumnya tadi.
"Lain kali kalau mau tidur, jangan disini? ini tempat anak-anak populer seperti kami ini, bukan gelandangan macam kamu ini Kamazaki." Fujiiko menambahkan.
Sambil tertawa puas mereka meninggalkanku sedirian dengan badan basah kuyup.
"Kenapa harus tertidur ditempat aneh begini sih?" kataku kesal sambil bangun dan merusaha mengeringkan pakaianku semampuku. Namun sepertinya percuma saja.
Teng... teng... teng...
Bunyi lonceng tanda masuk sekolah telah berbunyi. Akupun berlari meninggalkan tempat itu. Sambil berlari aku menoleh ke arah danau.
“Danau yg sama, seperti di mimpiku...” gumamku.
***
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan namamu.” Bu Kawako memperkenalkan gadis tersebut.
“Nama saya Megumi Natsukawa. Mohon bimbingannya.” Katanya lembut.
Hari itu sekolah begitu ramai, katanya ada murid pindahan dari Tokyo. Gadis yang begitu cantik, dan langsung menjadi primadona sekolah ini.
Sedangkan aku, masih berdiam diri di kelas. Sudah kupakai jaket, namun belum juga membantuku. Aku masih kedinginan.
“Sepertinya aku masuk angin.. haa.. hatchiih..” lebih tepatnya aku terkena flu.
            Ini terlalu dingin, sebentar lagi musim dingin, dan aku malah disiram air es. Payah sekali aku ini.
            “Lebih baik aku mencari minuman hangat di kantin, paling tidak bisa menghilangkan rasa dinginku.” Akupun beranjak dari kelas menuju kantin.
            Kantin begitu ramai, saat istirahat begini memang kantin adalah tempat yg paling disenangi para murid. Ya... terlebih lagi, di kantin ini tidak ada kakak senior yg kejam itu. Mereka pasti sedang di taman, menikmati indahnya pemandangan danau. Tapi apa mereka mengerti arti keindahan? Sikap mereka padaku tidak ada indahnya sama sekali.
            “Arigato..” kataku.
            Coklat hangat sudah ada di tanganku. Akupun duduk di kursi paling pojok, dari tempat itu aku bisa melihat pohon sakura yg belum juga berguguran bunganya. Indah sekali...
            “Ano... bolehkan aku duduk di sini?” kata seseorang membuyarkan lamunanku.
            “Eh??? Hai... silahkan.” Kataku mengangguk cepat, lalu bergeser.
            “Disini masih ada bunga sakura yg bermekaran ya. Indah sekali...” Katanya melanjutkan.
            Gadis ini begitu cantik, tinggi dan kulitnya putih. Rambut hitam panjang se-pinggul terurai indah. Sedangkan aku? Tinggi standar, kulit tidak hitam-hitam amat sih, rambutku sebahu, ditambah kacamata minus 2.5-ku ini.
            “Kamu...” katanya membuyarkan lamunanku.
            “Ne?... ah iya berat badanku 43 kg.” Kataku bersemangat.
            “Hahaha apa aku bertanya tentang berat badanmu tadi?” katanya sambil tersenyum.
            Aduh... kenapa aku ini, memalukan sekali.
            “E.. to.. sepertinya tidak ya. Hihihi gomen-ne.” Kataku, malu-malu.
            “Ya tidak apa-apa. Ngomong-ngomong kamu kelas berapa?” tanyanya.
            “Aku kelas 2-a. Kamu?”
            “Aku kelas 3-c. Salam kenal, aku baru disini.” Katanya.
            “Ooh... senpai toh.” Kataku mengangguk-angguk.
            “Yaaa, bisa dibilang begitu. Boleh kutahu namamu? Namaku Megumi Natsukawa.”
            “Aku Yuri Kamazaki. Oh, Megumi-senpai. Salam kenal.”
            Hari itu kami habiskan untuk mengobrol tentang banyak hal. Megumi-neechan sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Walaupun dia senior, namun begitu baik padaku. Seperti menemukan kakak perempuan yg tidak pernah kumiliki sebelumnya. Aku ini anak satu-satunya di keluargaku, karena aku hanya tinggal dengan Ibuku. Ayah sudah lama meninggal saat berlayar di laut 10 tahun lalu. Jadi, begitu menyenangkan dapat mengobrol dengan seseorang yg bisa dijadikan kakak.
            Megumi-neechan... sangat mirip dengan gadis yang sering hadir di mimpiku. Hal itu yang baru kusadari saat pulang sekolah. Gadis pemain biola.
            Keesokan harinya aku mengajak Megumi-senpai berkeliling gedung sekolah, aku mengenalkannya banyak tempat, termasuk danau. Tanpa basa-basi, dia menarik tanganku lalu mengajakku mendekati danau itu. Tapi ditengah jalan, Nakajima dan Fujiiko menghadang kami. Sepertinya mereka hendak menyakiti Megumi dan aku disini. Aku memang selalu jadi bulan-bulanan mereka. Selain karena mereka besar-besar, mereka juga jago bela diri.
            “Hei Kau! Kenapa bermain dengan anak ini? Dia itu culun, miskin lagi.” Tanya Fujiiko sambil mendorong kepalaku.
            Aku tak berani melawan. Bisa-bisa aku babak belur dan terus jadi bulan-bulanan mereka.
            “Memang masalahnya apa?” Tanya Megumi.
            Baru kali ini kulihat wajah Megumi begitu dingin. Sepertinya ia benar-benar marah. Padahal kedua anak itu tidak melakukan apapun padanya.
            Aku melihat tangannya mengepal begitu kencang. Sepertinya ia menahan marah yg amat sangat.
            “Mau apa kau? Menghajar kami?” Tanya Nakajima sambil cengengesan.
            “Iiih takuut... Hahaha...” Kata Fujiiko membuat emosi Megumi semakin menjadi.
            Megumi mengendurkan kepalannya, lalu tersenyum...
            “Tidak... bahkan tanpa aku menghajar kalianpun, kalian akan merasakan sakitnya.” Jawabnya datar.
            Mendengat kalimat aneh yg terucap dari mulut Megumi, Nakajima merasakan ada yg janggal dengan Megumi. Ia pun mengajak Fujiiko meninggalkan kami dengan terburu-buru.
            “Megumi-neechan?” tanyaku ragu-ragu.
            “Iya Yuu-chan?” jawaban yg berbalik bertanya.
            “Kau tidak apa-apa?” Tanyaku ragu.
            “Aku baik-baik saja. Ayo tinggalkan tempat ini, sebentar lagi bel akan berbunyi.” Katanya.
            Dia menarik tanganku. Tangannya begitu dingin, malah terkesan seperti es.
            “Baiklah...” Kataku menurut saja.
            Keesokan harinya aku tidak melihatnya dimanapun di sekolah. Aku khawatir padanya. Jangan-jangan dia disakiti oleh kedua kakak kelas jahat itu. Hemmh bagaimana ini?
            Akupun berjalan ke kantin, setelah membeli susu coklat hangat kesukaanku akupun duduk ditempat favoriteku. Sepertinya sudah mulai memasuki musim dingin. Beberapa hari lagi ulang tahunku. Sedikit menyedihkan juga saat-saat seperti ini tidak punya pacar.
            “Hahaha payah…” Kataku.
            “Siapa yang payah Yuu-chan?” Kata seseorang yg kemudian duduk disampingku.
            Aku menoleh…
            “Eh?... ah tidak Megumi-neechan. Aku hanya melamun. Teringat kalau 3 hari lagi ulang tahunku. Hehe tapi tidak apa-apa, jangan khawatir. Ngomong-ngomong Neechan habis darimana?” Tanyaku.
            “Hemm… aku baru saja mengikuti kegiatan music.” Katanya sambil menunjukkan tas alat musiknya.
            “Ano… itu alat music apa?” Tanyaku penasaran. Mungkinkah biola seperti mimpiku itu?
            Megumi-neechan pun membukanya perlahan, dan…
            “Ini biola. Mau mendengarkan aku memainkannya Yuu-chan?” Tanyanya pelan.
            “Eh… eto… jika boleh.” Kataku bingung.
            Ya bingung, karena semakin ke sini semakin sesuai dengan mimpiku.
            Tiba-tiba tanganku digenggamnya…
            “Akan kuperlihatkan…” Katanya sambil menarikku pergi dari tempat itu.
            Sepertinya aku tahu aku akan dibawa kemana. Kataku dalam hati.
            “Ini… danau?” Tanyaku setengah tak percaya.
            Danau ini yg ada dimimpiku, begitu jelas, persis sama.
            “Yuu-chan, kesini! Kita naik perahu ini.” Katanya sambil melambaikan tangan.
            Akupun berjalan mendekatinya. Perlahan menaiki perahu tersebut.
            “Kita ke tengah ya…” Katanya.
            Aku hanya mengangguk. Aku tidak tahu mengapa ini benar-benar terjadi. Mengapa mimpiku menjadi kenyataan? dan mengapa aku sama sekali tidak bisa menolak permintaannya?
            Akhirnya kami sampai di tengah danau itu. Megumi-neechan mulai memainkan biolanya. Ia tersenyum… lalu lagu itupun diputar… lagu yang sama dengan mimpiku. Aku tidak bisa bergerak… seakan aku diikat kencang, aku mematung diatas perahu itu saat lagu itu dimainkannya.
            Tiba-tiba danau yang tadinya bening tersebut berubah warnanya menjadi merah… menjadi merah darah… Aku panik, aku ketakutan, namun tidak juga bisa bergerak, atau sekedar bersuara.
            Lagu itu hampir habis… aku ingin berteriak meminta tolong.
            “Tidaaaaaaakkk!!!” Teriakku.
            Brugg!
            Aduuhh… Eh? Aku terjatuh dari kursi kantin. Bukan di danau…
            Mimpi ini mulai menyeramkan.
            “Untung hanya mimpi. Menakutkan sekali.” Kataku sambil mengusap-usap kepalaku.
            “Eh… ada sesuatu di danau, ayo kita lihat!” Kata beberapa orang sambil berlari ke arah danau.
            “Iya, katanya ada mayat.” Kata orang yang lain mengikuti.
            “Hah? Ada mayat di danau?” Tanyaku pada salah seorang yang sedang berlari.
            “Iya, mayat dua orang gadis. Sepertinya kakak kelas tiga. Ayo kita lihat!” Katanya.
            Akupun ikut berlari bersama mereka menuju danau.
            Setibanya di danau, aku melihat ada dua gadis di atas perahu, berlumuran darah, darah itu keluar dari mulutnya. Mengerikan sekali.
            “Siapa yang melakukan ini? Mengerikan sekali?” Kata seseorang yang ada disebelahku.
            “Iya siapa yang tega melakukan ini?” Kata anak yang lain.
            Aku merasa lemas…
            Beberapa waktu kemudian polisipun datang dan memeriksa tempat kejadian. Katanya tidak ditemukan jejak kaki basah ataupun yang lainnya disana. Sedangkan mayat ditemukan ditengah danau, bagaimana caranya membunuh tanpa menyentuh mayat?
            “Benar-benar mengerikan… siapa yang melakukannya?” Tanya seseorang disebelahku bertanya padaku.
            Tanpa menoleh aku menjawab.
“Aku tidak tahu, kata polisi, pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang mustahil.”
“Bukankah yang meninggal itu Fujiiko dan Nakajima? Mereka memang pantas mendapatkan itu.!” Katanya.
Mendengar pernyataan yang mengejutkan itu, akupun menoleh.
“Me.. Megumi-neechan?!” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Iya, kenapa Yuu-chan?” Katanya sambil tersenyum padaku.
Aku perlahan-lahan mundur… lalu berlari meninggalkan tempat itu. Ini terlalu mengerikan.
Aku pergi ke kelas, duduk di kursiku lalu mengenakan headset, kuputar lagu rock. Semoga membuatku tenang.
“Ini semua tidak terjadi, itu hanya mimpi… tidak mungkin Megumi yang melakukan itu. Tenang Yuri, tenang…” Kataku dalam hati.
“Hei… kata polisi mayat itu jantungnya bubuk di dalam tubuhnya!. Bagaimana bisa begitu?” Kata seseorang di depan pintu masuk dilanjutkan oleh orang disebelahnya.
“Iya aneh, keduanya sama.” Lanjut teman sebelahnya.
            Aku mulai merinding…
            Walaupun aku sudah memaksimalkan suara music ini, namun tetap saja suara mereka terdengar. Aku semakin panik… ada yang tidak masuk akal disini. Aku merasa aku tahu siapa yang melakukannya…
            “Yuu-chan?” Tanya seseorang disebelahku.
            Mengejutkan… saat kutengok…
            “Me… Megumi-neechan?!” Kataku seraya berdiri dengan cepat.
            “Kenapa kau ini? Tiba-tiba berlari dan seperti yang ketakutan begitu?” Tanya Megumi.
            “A… aku baik-baik saja…” Kataku.
            Megumi pun duduk tepat di samping tempatku berdiri. Lalu tersenyum…
            “Aku menyayangimu Yuu-chan. Aku tidak akan melakukan itu padamu.” Kata-kata itu justru membuatku semakin panik.
            “Ja.. jadi? Kau yang melakukan itu?!” Tanyaku sedikit berteriak.
            Seketika waktu terasa berhenti. Megumi kemudian tersenyum lagi, berdiri dari tempatnya duduk tadi. Dia mengangkat tangannya, lalu diletakkan diatas kepalaku. Aku ketakutan bukan main. Namun ia hanya mengusap kepalaku seraya berkata…
            “Tidak ada yang boleh menyakitimu, adikku. Jika ada, mereka akan bernasib sama dengan kedua wanita sialan itu!…” Perkataan Megumi membuatku lemas tak berdaya.
            “A… adik?” Kataku pelan. Sepertinya tatapanku kosong…
            “Hemm.. iya kamu adikku. Ayah kita mati di laut saat ia bersamaku. Mungkin kau tidak tahu, saat itu ia hendak menjualku. Uangnya akan ia bawa pulang untuk berjudi lagi. Saat uang untuk judi habis, ia akan kembali membawamu dan menjualmu juga. Ibu tak pernah tahu hal ini. Ayah juga tidak tahu bahwa aku bisa mengendalikan air. Maka kubuat ombak besar dan menenggelamkan kapalnya. Semua itu agar ia tidak menjualmu juga adikku.” Katanya dengan tatapan lembut sambil kembali mengusap rambutku.
            “Lalu, yang terjadi dengan Fujiiko dan Nakajima?!” Tanyaku masih gemetaran.
            “Hahaha mudah, jantung itu 99% terbuat dari air, tinggal kuhancurkan. Mereka sudah cukup menyakitimu selama ini. Orang-orang bodoh itu.!” Katanya lagi.
            “Kakak?” Kataku pelan.
            “Iya Yuu-chan?” Katanya sambil kembali tersenyum.
            “… aku tidak pernah memintamu untuk membunuh. Aku tidak pernah punya kakak sejahat dirimu… kakak tidak akan mau membunuh…”
#FLASHBACK
            “Yuu-chan! Jangan dibunuh ulatnya. Kasihan.” Kata Megumi sambil tersenyum melihat tingkahku.
            “Tapi… ulat ini membuatku gatal Megu-neechan.” Kataku merengek sambil garuk-garuk gatal.
            “Tetap tidak boleh dibunuh. Nanti ulat ini akan jadi kupu-kupu yang indah, kamu pasti suka. Pakai minyak anti gatal saja, pasti sembuh. Setiap makhluk yang bernyawa tidak boleh disakiti. Ingat kata-kata kakak ya Yuu-chan.” Kata Megumi sambil mengusap rambutku.
            “Megumi-chan! Ayo kita berangkat. Kapalnya akan segera berangkat, kita harus segera ke dermaga.” Kata Ayah.
            “Hai... Yuu-chan, sampai jumpa lagi. Ingat pesan Kakak yaa.” Kata Megumi seraya pergi bersama Ayah.
            Sejak saat itu ia tak pernah kembali lagi…

#FLASHBACK END
            “Kakak ingat itu? Kakak yang tega membunuh bukan kakakku…!” Kataku sambil menunduk.
            Tak terasa air mataku mengalir, menetes membasahi pipiku. Tak kusangka… Kakak yang selama ini kutunggu, kakak yang selama ini merupakan orang paling baik hati, tega melakukan itu…
            “Yuu-chan?” Tanya Megumi kembali.
            “Y.. ya?” Jawabku pelan.
            “Bagaimana caraku untuk kembali menjadi kakakmu yang dulu? Tanganku sudah kotor Yuu-chan.” Katanya.
            “Aku tidak tahu Megumi-neechan. Aku tidak tahu…” Jawabku
            Setelah mendengar perkataanku, Megumipun pergi dari kelas itu. Sejak saat itu aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Ia tidak pernah kembali ke sekolah… atau terlihat dimanapun…
            Ini bukan ending yang menyenangkan…
***
Beberapa tahun kemudian…
            “Aaaahhh… skripsi memang memusingkan...!” Teriakku.
            “Hei, Yuuri, berhenti berteriak bagitu. Aku tahu skripsi memang memusingkan. Bagaimana kalau kita main ke gunung bersama club pecinta alam?” Kata Iwasawa temanku di kampus.
            “Malas…” Kataku ketus.
            “Ish… ini juga bisa jadi referensi untuk skripsimu. Masalah yang kau ambil tentang air-air begitu kan? Di gunung ini aku dengar ada danau dan sungai juga, jadi mungkin bisa membantumu…” Kata Iwasawa menambahkan.
            Ia memang cerewet, sahabatku yang satu ini.
            “Huh! Kau memang paling bisa membujukku. Baiklah, aku ikut.” Kataku.
            “Yeah! Ready go!” Katanya sambil tersenyum lebar.
***
            “Masih jauh kah tempatnya?” Teriakku pada Iwasawa.
            “Sebentar lagi. Ini gara-gara kamu kelamaan, jadi kita ditinggal.” Kata Iwasawa.
            Sepertinya kami tersesat, sedari tadi hanya berputar-putar.
            “We’re lost!” Kataku padanya.
            “Tidak, aku rasa…” Katanya terlihat tidak yakin.
            Aku melihat langit, sudah hampir gelap.
“Hei Iwasawa-chan… sepertinya sudah hampir malam. Kita bangun tenda disini saja, tanahnya juga datar kok.” Kataku.
“Hemmh, ya sudah lah. Untung kita bawa tenda sendiri.” Katanya.
Kamipun membangun tenda disana. Kami juga membuat api unggun untuk menghangatkan diri, dan mengusir binatang liar. Karena mengantuk, akhirnya kamipun memutuskan untuk segera tidur di tenda.
***
Pukul 05.00 pagi aku terbangun. Masih sedikit gelap disini. Sungai di dekat sini dimana ya? Mau cuci muka. Tanpa membangunkan Iwasawa aku bangun sendiri dan mencari air di sungai. Tidak terlalu jauh dari tempatku mendirikan tenda, ternyata ada sebuah sungai kecil. Saat hampir sampai, aku melihat seseorang tengah bermain air disana. Air-air itu seakan mengikuti gerakannya.
“Kakak?!” Seketika kata itu keluar dari mulutku.
Mendengar perkataanku orang tadi berlari meninggalkan tempat itu. Aku berusaha mengejarnya, namun aku terpeleset dan tercebur ke air. Untung tidak terlalu dalam, aku hanya basah kuyup.
“Toloooonnggg!!!” Teriakan seseorang dari arah tenda.
“Iwasawa?!” Kataku.
Aku berlari menuju tenda. Aku terkejut… saat sampai ditempat tadi, aku melihat semuanya berantakan. Sepertinya ada yang menculik Iwasawa. Barang-barang kami masih ada disitu. Akupun berlari mencari jejak mereka kemana membawa Iwasawa.
Setelah cukup jauh… aku melihat beberapa orang yang sepertinya berasal dari club pecinta alam. Aku mendekatinya…
“Ano… sumimasen…”
Akupun menceritakan semuanya kepada mereka. Kemudian kami memutuskan untuk mencari Iwasawa bersama-sama, menurut salah satu dari anggota club itu, memang di hutan ini sering ada penculikan. Namun jika bersama-sama mereka tidak akan berani menculik kami.
Aku menyesal meninggalkan Iwasawa sendiri.
Akhirnya pencarianpun dimulai. Aku dan semua anggota club bersama-sama mencari dimana Iwasawa. Sampai akhirnya kami melihat ada sebuah gudang.
“Mungkin Iwasawa-san ada disana.” Kata salah satu anggota club itu.
“Aku akan kesana.” Kataku sambil bangun dari tempatku bersembunyi
“Tunggu dulu, lihat itu!” Kata anggota yang lain sambil menunjuk sesuatu.
Ternyata anggota penculik Iwasawa itu menggunakan senjata api, ada yang membawa pistol dan senjata tajam lainnya.
Tiba-tiba…
“Jangan bergerak!” Teriak seseorang dari balik pepohonan.
Kami semua terkepung dan diikat di dalam gudang tersebut. Sekarang tidak ada yang bisa menolong kami.
“Kita punya banyak budak untuk dijual. Bos pasti akan senang.” Kata salah satu penjahat berbadan gendut dan berkumis tebal.
“Iya, kau benar. Hahaha” Kata penjahat yang lain, yang kepalanya botak.
Aku melihat-lihat sekitarku, aku menemukan pecahan kaca, dan mengambilnya. Sedikit-demi sedikit tali yang mengikatku aku potong.
“Yes! Akhirnya terpotong.” Kataku dalam hati.
Aku menunggu para penjahat itu keluar dari ruangan. Akhirnya mereka pergi dari ruangan tempat kami ditahan. Akupun mulai mencoba melepaskan tali yang lainnya. Sebelum sempat melepas ikatan yang lainnya ternyata salah satu penjahat itu kembali dan melihatku lepas.
“Hei! Mau kemana kau?” Teriaknya sambil berlari mengejarku.
“Lari Yuuri!” Teriak Iwasawa.
Akupun berlari sekencang mungkin, terlihat para penjahat itu mengejarku. Ada dua orang yang mengejarku, keliahatannya di gudang itu kurang lebih ada lima orang penjahat. Aku berlari berharap bisa bertemu dengan seseorang yang bisa menolongku. Tiba-tiba aku tejatuh. Kakiku terkena akar yang mencuat.
“Sial!” Kataku.
“Hahaha kau tertangkap.” Kata si gendut berkumis menertawakanku.
“Ayo kita bawa dia kembali ke gudang!” Kata seorang lagi yang tubuhnya lebih kecil, bisa dibilang juga dia kurus sekali.
“Kau manis sekali… coba kau tidak memakai kacamata.” Kata si gendut mendekatiku. Ia hampir melepas kacamataku.
Ampun, aku tidak bisa melihat tanpa kacamata ini. Aku berusaha bangun, namun tampaknya kakiku terkilir. Tiba-tiba sebuah cahaya kebiruan datang…
Plaakkk!!!
Si gendut tertampar sesuatu. Seperti es…
“Apa itu?” Katanya panik.
Sekali lagi…
Bugg!!!
Sebuah bongkahan es mengenai perut si gendut. Ia terlihat kesakitan. Si kurus hanya melihat dengan wajah bingung.
Pletaakk!!!
“Aduuuh…” Kepala si kurus dilempar bongkahan es lagi.
“Siapa kau? Keluar! Dasar pengecut!” Kata si Gendut marah. Kumisnya naik turun.
Tiba-tiba sebuah bongkahan es berbentuk naga besar mendatangi mereka, karena takut mereka berlari kucar-kacir meninggalkanku disana.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya seseorang yang wajahnya tak terlihat. Ia menutupi wajahnya dengan ciput jaketnya.
“A… aku tidak apa-apa. Arigato…” Kataku.
Aku berusaha bangun, namun kakiku terasa sakit. Tiba-tiba semuanya gelap… dan…
***
            “Emmh… dimana ini…?” Kataku.
            Sepertinya tadi aku pingsan.
            Ini terlihat seperti sebuah gubuk kecil. Kulihat kakiku dibalut dengan kain. Aku melihat kesana kemari. Mencari orang yang menolongku tadi.
            “Aku harus menolong Iwasawa dan yang lain…” Kataku sambil berusaha bangun.
            “Jangan dipaksakan. Kau belum boleh berjalan Yuu...” Katanya memotong perkataannya.
            “Ka.. Kak Megumi?” Kataku.
            “Iya Yuu-cahn, ini Kakak, lama tak jumpa.” Katanya membuka penutup kepalanya. Kemudian tersenyum padaku.
            “Kakak, bagaimana kakak bisa ada disini? Maafkan aku kak… gara-gara aku kakak harus tinggal di tempat seperti ini.” Kataku merasa bersalah.
            “Tidak, ini bukan salahmu. Kakak disini memang sudah seharusnya. Kakak harus menebus semua kesalahan Kakak. Kakak harus menolong orang lain, dengan kekuatan Kakak ini.” Katanya, kembali tersenyum.
            “Setelah ini selesai, kakak harus ikut pulang denganku. Ibu pasti merindukan Kakak.” Kataku lagi.
            “Kita selamatkan dulu teman-temanmu Yuu-chan.” Katanya.
            Iapun mengeluarkan sedikit air dari tempat penyimpanan air, air itu terbang dengan indahnya, kemudian menutupi kakiku yang terkilir. Setelah beberpa detik, akhirnya kakiku sembuh lagi.
            “Air itu bisa jadi penyembuh yang paling baik Yuu-chan.” Katanya menjelaskan.
            Akhirnya kamipun berjalan bersama-sama menuju ke tempat teman-teman kami disekap. Ternyata benar ada 5 orang penjaga disana.
            Dengan kekuatan yang dimiliki Megumi-neechan, beberapa orang berhasil dilumpuhkan. Saat hendak melepaskan semuanya tiba-tiba Megumi-neechan berhasil ditangkap oleh si bos.
            Ia sudah tidak akan mengendalikan tubuh lagi, walaupun ia bisa, ia tidak ingin membunuh lagi. Ia sudah  berjanji kepadaku.
            Si Bos menempelkan pisau ke leher Megumi-neechan.
            “Jangan bergerak, jika ada yang bergerak, dia akan kubunuh.” Katanya.
            Megumi-neechan tersenyum… Aku tidak mengerti apa maksudnya.
            Seketika air dari segala penjuru tempat datang dan membanjiri gudang itu. Seketika kami semua lepas. Aku dan yang lain lari keluar. Sepertinya air di sungai dan di danau ia panggil dan datang membanjiri tempat ini. Megumi-neechan berjalan mendekatiku, lagi-lagi sambil tersenyum. Dari belakang kulihat si Bos mengacungkan pistolnya ke arah megumi-neechan. Aku berlari menuju Megumi-neechan, dan…
           
            DOR!!!
            Suara tembakan terdengar di seluruh hutan.
“Kakak!!!”…
            “Yuu-chan… maaf. Kakak tidak bisa membiarkanmu mengorbankan dirimu demi Kakak. Terima kasih sudah menyayangi Kakak, Yuu-chan. Arigato…” Katanya, sambil tersenyum, lagi-lagi tersenyum?
            “Berhenti tersenyum! Itu hanya senyum perpisahan. Hentikan!” Kataku berteriak.
            Saat hendak kuhalangi tembakan dari penjahat itu, ternyata Megumi-neechan telah lebih dulu melindungiku. Dia yang tertembak. Penjahat itu pingsan karena terkena serangan Megumi-neechan yang terakhir kalinya.
            “Arigato, Yuu-chan…” Katanya sambil menutup mata perlahan dipangkuanku.
            “KAKAAKK!!!” teriakku.
           
            Andaikan aku bisa memutar waktu…
***
#NP. String quartet no 14 in c sharp minor Ludwig van Beethoven
            “Yuu-chan… kakak ingin bisa bermain biola dan memainkan lagu itu untukmu nanti kalau sudah besar. Kamu mau mendengarnya kan?” Kata Megumi-neechan.
            “Tentu saja Kak, nanti kalau sudah besar. Janji?”… Kataku.
            “Iya janji kelingking. Tidak bisa diingkari…” Kata kakak sambil mengangkat jari kelingkingnya.
            Akupun mengangkat jari kelingkingku dan mengaitkannya…
            “Janji ya Kak…”…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar