Jumat, 17 Februari 2017
Cerpen: Double
Hidup itu amat singkat. Suatu waktu begitu membosankan suatu waktu begitu menyenangkan. Andai aku bisa membuat diriku menjadi dua, tak akan ada moment yg tertinggal. Atau, aku ingin memiliki saudara sajalah.
***
Disuatu malam yang dingin saat pulang les untuk persiapan masuk SMA, seorang kakek tua berpakaian lusuh terbaring di samping rumah makan. Apakah tak ada yg memberinya makan? Kulihat orang-orang mengabaikannya.
Aku masuk ke dalam rumah makan itu dan membeli sebungkus makanan untuk kakek tersebut beserta minumnya. Setelah diterima aku pergi meninggalkannya. Namun kakek tersebut memanggilku. Aku mendekat. Kakek tua itu memberikan sesuatu padaku. Sebuah kalung liontin. Saat ku buka liontin itu, terdapat dua fotoku. Aneh.
Saat aku akan menanyakan apa maksud dari semua ini, ternyata kakek tersebut sudah tidak ada disitu. Akupun memutuskan untuk pulang ke rumah secepatnya.
***
"Ma, aku pulang." Teriakku sambil mengetuk pintu.
Malam itu masih pukul 7 malam, tapi rumah begitu sepi.
Pintu akhirnya terbuka. Terbuka sendiri. Aku merinding. Tapi tetap harus masuk. Tiba-tiba...
"Selamat ulang tahun Mega!" Teriak keluarga dan juga sahabatku, Airi.
Aku terkejut dengan perayaan ini. Malam itu kami habiskan untuk bersama-sama berbahagia. Aku hampir menangis karena kebahagiaan ini.
***
Akhirnya hari melelahkan itu selesai juga. Aku merebahkan diri di kasur. Akupun teringat dengan liontin yang diberikan kakek-kakek tadi. Aku membuka liontin itu lagi. Masih ada dua fotoku disana.
Aku anak satu-satnya di keluarga ini. Dan yang pasti, foto itu keduanya adalah fotoku. Tapi kelihatannya memiliki sifat yang jauh berbeda. Bisa begitu? Hemmh
Aku bangun dari tempatku berbaring, lalu berjalan menuju meja riasku. Aku ingin melihat bagaimana rupaku saat mengenakan liontin ini.
Perlahan ku kenakan. Beberapa saat kemudian lampu menjadi berkedip-kedip. Aku mulai merasa ketakutan.
Lampu kemudian berhenti berkedip. Aku kembali memalingkan wajahku ke cermin. Aku terkejut...
"Hai Mega."
Sapa seseorang di belakangku. Cermin itu memantulkan wajahku dan wajah seseorang di belakangku yg persis sama denganku.
"Si... Siapa kamu?" Tanyaku panik.
Aku terjatuh dari kursi dan melihat bahwa sosok tersebut memang benar adanya.
"Aku, adalah kamu. Dirimu yg lain Mega. Jangan takut." Katanya pelan sambil tersenyum.
Senyum? Iya senyuman, tapi begitu menakutkan.
Tok tok tok!
Suara pintu diketuk.
"Sudah tidur?" Teriak Mama dari luar.
"Be... belum Ma." Kataku.
Mama membuka pintu dan tersenyum kepada kami. Kami?
"Kalian kenapa belum tidur?" Tanya Mama.
"Kami sedang mengobrolkan tentang pesta tadi Ma." Kata seseorang yg mirip denganku itu.
"Kalian segera istirahat, besok kalian kan sekolah. Lalu, ada kabar gembira juga untuk kalian berdua." Kata Mama.
"Apa itu Ma?" Tanya gadis itu lagi.
Terlihat akrab.
"Ayah akan cuti selama beberapa hari, dan kita akan berlibur ke Lembang. Ke rumah Nenek dan kakek." jelas Mama pada kami.
"Kak, kenapa kamu begitu pucat? Apa kamu sakit? Mau Mama ambilkan obat?" Tanya Mama lagi sambil memegang kening dan pipiku.
"A... Aku baik-baik saja Ma. Mungkin hanya kecapean sehabis pesta tadi." Kataku.
"Oke. Cepat istirahat yaa." Kata Mama lagi, lalu mencium kami berdua.
Mama meninggalkan kamar.
"Mega. Sudah, istirahat. Besok kita sekolah." Katanya, lalu tidur di kasur yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku.
Aku tidak bisa melanjutkan pembicaraan malam itu. Orang itu sudah tidur.
Walaupun masih begitu kebingunan, aneh. Aku berusaha untuk setenang mungkin lalu pergi tidur.
***
"Mega, Mia, ayo bangun. Alarm dari hp kalian yg keras begitu pun tak membuat kalian bangun apa? Kesiangan nanti." Teriak Mama dari depan pintu sambil mengetuk-ngetuk.
"Iya Ma." Teriak gadis itu.
Aku mulai membuka mataku. Gadis yg Mama panggil dengan sebutan Mia itu, sepertinya sudah siap dengan seragam lengkap.
"Masih pukul 5 pagi." Kataku malas.
"Jamnya mati." Katanya sambil memasukkan buku ke dalam tasku dan tas miliknya.
Aku kemudian melihat ke handphoneku dan terkejut. Lalu berlari ke kamar mandi.
***
Walaupun ada seseorang yg belum pernah ada sebelumnya, tapi di rumah pagi itu saat sarapan, semuanya begitu terlihat normal.
"Pah, lihat tuh anakmu." Kata Mama pada Papa.
"Kakak kenapa?" Kata Papa padaku.
Aku tidak mungkin menjawab pertanyaan ini dengan jujur.
"Si Kakak mungkin sedang galau soalnya pacarnya semalam tidak datang." Kata Mia
"Eh?" Wajahku celingukan.
Semua orang di rumah tertawa bersama-sama. Begitu hangat. Tapi, begitu aneh. Mia itu siapa? Apa maksudnya dia ada disini? Di dunia ini? Dan apakah ini semua ada hubungannya dengan liontin yg diberikan kakek itu? Semuanya masih misteri.
***
"Saat memasuki lab komputernya, kalian semua buka sepatu yaa. Awas kalau ada yang memasukkan sepatu lagi." Kata Pak Dedy guru komputer di sekolah.
"Iya Paak!" Serempak anak-anak kelas menyetujui.
Hari ini aku berangkat diantar Papa bersama Mia. Sudah bisa ditebak, dia sekelas denganku. Dan teman-teman sekelas mengetahui bahwa kami adalah saudara kembar. Kembar dari mananya?
Pagi tadi aku mencoba melepaskan liontin ini, tapi ternyata tidak bisa. Aku bertanya-tanya apakah jika aku berhasil melepaskan liontin ini, Mia akan menghilang? Mungkin saja kan.
Praktik komputer hari itu sudah selesai. Saatnya untuk kembali ke kelas.
Aku terkejut karena ternyata sepatuku hari itu dikerjai. Talinya diikat dengan simpul berantakan. Tak akan mungkin masuk kelas tepat waktu.
"Aduh, siapa yang jahil sih?"
Semua teman kelas tertawa, mereka tahu kemarin aku berulangtahun. Jadi mereka membiarkan saja aku kesulitan membetulkan tali sepatuku yang diikat bersama-sama begitu.
Tiba-tiba hawa dingin menyebar. Sebuah tatapan yg begitu tajam menyebar di atmosfir tempat itu.
Semua orang disana juga merasakannya.
Mia keluar dari lab, mengambil sepatunya yang ternyata tidak diikat. Hanya sepatuku yang di ikat? Aku memang selalu jadi bahan bullyan. Dan tak pernah ada yg membelaku. Kecuali sahabatku dari kelas lain, yaitu Airi.
Mia melihat ke arahku.
"Kau pakai saja punyaku." Katanya, masih dengan sikapnya yg terkesan dingin.
"Lalu kamu?"
Dia tersenyum. Mengambil sepatuku dan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku roknya. Lalu memotong tali yang terikat itu.
"Sudah kan. Aku pakai punyamu." Katanya sambil mengenakan sepatu dan memasukkan pisaunya lagi ke sakunya.
Dia membawa pisau. Anak-anak yang lain hanya bisa tercengang melihatnya.
Aku berjalan bersamaan dengannya di koridor-koridor menuju kelas. Kulihat Airi, sahabatku sedang menulis di papan tulis. Mengisi jawaban. Dia memang pandai, sayang sahabatku itu tidak pernah sekelas denganku.
***
Aku selalu menyimpan rasa waswas saat berada dekat Mia. Dan itu berlangsung lama, karena ia selalu di sebelahku. Begitupun di kelas. Kami satu meja.
Saat hanya berdua kadang dia jadi begitu ramah. Kadang juga jadi begitu dingin. Seperti memang dia bukan dari dunia ini. Tapi, hari ini dia menyelamatkanku dari rasa malu dan kemungkinan dihukum karena terlambat masuk kelas. Aku sedikit bersyukur dia ada.
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.
Aku rasa dia tau isi hatiku.
***
Karena kami sudah kelas 3 jadi hari ini jadwalnya untuk bimbingan belajar sampai sore. Setelah itu, aku berangkat untuk les bahasa Inggris seperti biasanya sampai malam.
Sepertinya Mia tidak ikut les. Dia tidak ada dimanapun. Sedikit lega. Namun juga khawatir. Maksudnya, ya aneh saja dia yg biasanya selalu berada disampingku, walaupun tidak banyak bicara, hari ini dia tidak ada dimanapun.
Aku sempat bertanya padanya tadi pagi saat sebelum berangkat ke sekolah. Apa sebenarnya tujuannya tiba-tiba ada di kehidupanku. Dia hanya mengatakan dengan santai...
"Karena kamu meminta." Jawabnya singkat.
Ya, aku akui, aku pernah sangat ingin memiliki saudara. Karena Mama sudah tidak mungkin bisa melahirkan lagi, rahimnya di angkat beberapa tahun silam.
Tapi, kalau aneh begini saudaranya aku jadi sedikit takut. Akan diapakan aku. Hemmh
Malam saat les itu aku habiskan untuk melamun. Dan tidak mengingat satu katapun yang diucapkan guru les tadi. Payah.
Saat keluar ruangan, Mia sudah berdiri menungguku di samping motor besar. Sebuah motor berwarna hitam dengan garis merah yang terlihat begitu, keren. Dia juga mengenakan jaket kulit hitam. Itukah aku jika berpakaian seperti itu?
"Ayo" katanya sambil melempar helm padaku. "Mama sudah menunggu." Katanya lagi.
"Darimana datangnya motor ini?" Tanyaku saat motor sudah melaju di jalan pulang.
"Dari keinginanmu yang paling dalam. Bukankah kau tidak pernah diizinkan mengendarai motor? " Katanya.
"Iya, tapi..."
"Sudahlah, perasaan saat aku mengendarai, juga adalah perasaanmu. Jadi kamu bisa tahu apa yang aku rasakan saat menyetir." Tiba-tiba aku berada di kursi kemudi. Begitu senang rasanya.
Akhirnya kami sampai di rumah.
"Kakak sama Ade sudah pulang? Ayo bersiap-siap rapikan pakaian kalian. Besok pagi kita berangkat ke rumah Nenek. Kalian ada libur 3 hari kan? Lagipula ayah sudah cuti lho." Kata Mama saat kami pulang.
Mama tidak merasa aneh dengan motor yg baru saja diparkir di depan rumah.
"Iya Ma." Kataku sambil berlari ke kamar.
***
"Lembang yaa, kamu suka bintang Mi?" Tanyaku.
Pertanyaan yg aneh. Apakah aku sudah nyaman tinggal bersamanya.
"Bukankah kamu suka bintang? So aku juga." Katanya tersenyum.
Dia lebih baik tersenyum, daripada seperti tadi. Aura dingin menyelimutinya. Menyeramkan.
Setelah selesai berkemas, aku dan Miapun akhirnya tidur dan bangun pukul 3 pagi. Sangat pagi.
"Ayo kalian turun. Kita bersiap untuk berangkat." Teriak Papa dari bawah.
"Iya Pah. Sebentar!" Teriakku dari kamar.
"Mega?" Tanya Mia.
Agak aneh saat dia tiba-tiba seperti ini.
"Iya?" Kataku. " Kenapa?" Lanjutku.
Tanpa menunggu waktu lama, dia berjalan mendekat dan memelukku dengan erat.
"Terima kasih sudah membiarkanku hidup." Katanya. Lalu mencium keningku.
Aku terdiam mematung. Masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia tersenyum lalu turun menemui kedua orangtuaku di bawah.
"Mana Mega?" Kata Mama di bawah.
"Sebentar lagi turun kok." Kata Mia sambil tersenyum. Mama mengusap rambutnya.
Ia memasukkan tasnya ke dalam mobil. Dan duduk di kursi depan. Aku dan Mama duduk di kursi belakang berdua.
"Semuanya siap?" Tanya Papa dari kursi kemudi.
"Siap Pah!" Teriakku dan Mia bersamaan.
Mama tersenyum dan mengusap rambutku.
"Kalian jadi kompak lagi nih. Mama senang melihatnya." Kata Mama. "Jadi, benar donk keputusan kami untuk mengadakan liburan ke Lembang. Sekalian menjenguk Nenek dan kakek." Lanjutnya.
Papa tersenyum dan mulai menjalankan mobilnya. Jalan-jalan dipagi hari begitu sepi. Sampai akhirnya kami tiba di Bandung.
Cahaya matahari mulai menampakkan diri. Kulihat Mia tertidur di kursi depan sambil mendengarkan musik. Lagu yang ia putar bisa kudengar di telingaku. Mengejutkan.
***
"Ayo turun! Kita sudah sampai di rumah Nenek." seru Mama.
Aku menggeliat, dan beranjak bangun dari tempatku duduk. Mia sudah di bawah bersama Papa. Mama menunggu di belakang mobil sambil mengeluarkan barang bawaan.
Sebelum sampai di rumah Nenek, tadi kami sempat beli oleh-oleh dulu. Jadi barang bawaan kami cukup banyak.
"Ayah, Ade, ayo bantu bawa barang-barang dulu. Jangan langsung nyelonong gitu. Berat nih." Kata Mama.
"Hahaha iya sayang." Kata Papa. "Ayo De, Kita bantu Mama dulu." Lanjutnya.
Akhirnya kami sampai di rumah Nenek. Udara disini dingin. Jadi semenjak tiba di bandung kami semua mengenakan jaket.
Nenek menciumku dan Mia, begitu juga Kakek. Tidak ada yg menyadari bahwa Mia tidaklah nyata. Atau, mungkin dia nyata, hanya aku yg salah? Entahlah. Tapi, aku cukup nyaman dia ada disini. Aku bisa terima.
***
"Kamu mau antar aku ke Boscha?" Tanyaku pada Mia.
"Boleh saja." Jawabnya.
Tiba-tiba Nenek memanggil.
"Kakak, Ade. Ada teman kalian." Katanya.
Aku dan Mia turun dari lantai atas lalu menemui orang yg nenek maksud.
"Siapa Nek?" Tanyaku.
"Lihat saja sana. Dia menunggu di depan pintu." Kata Nenek.
Aku berjalan menghampiri orang yang di maksud.
"Airi? Sedang apa kamu disini?" Tanyaku heran.
"Kamu lupa yaa? Aku kan asli orang sini. Tiap liburan aku pulang. Di Bogor aku tinggal bersama om dan tante." Jelasnya. "Mia mana?" lagi.
"Aku disini Airi. Kapan tiba di Bandung?" Kata Mia yang baru tiba sambil membawa minum dan sedikit kue.
"Aduh repot-repot sekali. Aku baru tiba tadi pagi." "Kalian kapan tiba?" Tanyanya.
"Sama, tadi pagi juga." "Oh iya, sore ini kami berencana untuk ke Boscha, melihat bintang. Kamu mau ikut?" Kataku.
"Wah ide yang bagus tuh. Aku ajak saudaraku juga yaa." Katanya.
"Saudaramu yang mana?" Tanyaku.
"Hahaha kamu lupa yaa, Aku juga kan punya saudara kembar seperti kalian." "Aira, kesini. Kamu mau ikut ke Boscha bersama kami?" Tanya Airi.
Seseorang yg begitu persis seperti Airi berjalan menghampiri kami. Kau tau? aku sama sekali tidak tahu kalau Airi memiliki saudara kembar.
"Boleh. Kapan?" Kata Aira.
"Sore ini." Kata Mia.
Mia tersenyum, begitu dingin. Aira dan Mia bertatapan. Seperti ada yg mereka berdua rahasiakan.
***
"Akhirnya kita sampai di Boscha. Ada orang tidak yaa?" Tanya Airi riang.
"Entahlah. Coba kita ketuk pintunya." Kataku.
Mia masih bersama Aira, berjalan santai di belakang kami. Aku khawatir.
"Eh, Airi..." Kataku.
Aku berniat mengatakan rahasiaku pada Airi. Soal kalau Mia itu bukan saudara kembarku. Dan aku tidak pernah mengingat adanya Aira. Tapi aku mengurungkan niatku karena aku merasa Mia dan Aira memperhatikanku dari jauh.
"Kenapa?" Tanya Airi.
"Ah, tidak. Itu, apa ada penjaganya?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Entahlah. Ayo kita periksa." Kata Airi.
Kami kemudian berputar mengelilingi gedung besar itu. Tidak ada pintu masuk lain.
Tanpa sengaja aku melihat Mia di belakang, dia mengeluarkan pisau, Aira juga. Apakah mereka berniat buruk pada kami?
"Airi, kita pulang saja yuk!" Kataku.
Perasaanku tidak enak.
"Kenapa buru-buru, Mega?" Tanya Aira. Mia tersenyum di sebelahnya.
"Eh, ah. Di dalam tidak ada penjaganya. Kita kesini lagi lain kali saja yaa." Kataku.
Aku memang tidak ahli dalam hal berbohong. Terlihat sekali. Payah.
"Tapi pintunya tidak di tutup." Kata Airi.
Ah dia tidak membantu.
"Aduh, aku ingin ke kamar mandi sebentar. Ada yang mau mengantarku?" Tanya Airi.
"Ya sudah denganku saja. Lagipula aku juga ingin ke kamar mandi." Kata Aira.
Aku cukup khawatir. Apalagi melihat pisau tadi.
"Kamu kenapa Mega?" Tanya Mia.
"Kenapa kamu membawa pisau?" Tanyaku.
"Untuk berjaga-jaga." Singkat.
"Tidak untuk membunuh kami kan?" Tanyaku lagi.
"Untuk apa aku membunuhmu ataupun Airi?" Tanyanya.
Dia juga mengakui bahwa dia tidak akan membunuh Aira. Secara tidak langsung. Aku yakin, mereka, maksudku Aira dan Mia berniat melakukan sesuatu.
"Kamu lupa ya kalau aku bisa mendengar isi hatimu?" Katanya lagi. "Tapi Aira tidak bisa mendengar isi hatimu. Hanya isi hati Airi saja." Lanjutnya.
"Jadi. Aku akan memberitahumu sesuatu." Katanya.
"A... Apa itu?" Tanyaku gugup.
"Pertama, aku akan menghilang saat liontinmu lepas. Dan hanya aku yang bisa melepasnya. Kedua, jika kamu mati, maka aku akan hidup menggantikanmu. Ketiga, aku ini lahir dari sisi liarmu. Keinginan terbesarmu. Cita-citamu. Dan yang terakhir..." Dia memotong pembicaraannya.
"Kalian sedang membicarakan apa?" Teriak Aira dari bawah. Diikuti Airi.
Syukurlah, Airi baik-baik saja.
"Seperti biasa." Kata Mia.
Mia belum menyelesaikan pembicaraannya tadi. Apa point keempat yg perlu aku ketahui?
"Eh, Airi kamu punya liontin sepertiku tidak?" Tanyaku.
Pertanyaan ini memiliki tujuan. Agar nanti aku bisa membedakan mana Airi, dan mana Aira. Karena yg palsu, tidak akan punya. Lagipula, mungkin benda itu bisa dilepas dan Aira menghilang.
"Ah, tentu saja tidak. Kau dapat itu dari mana?" Kata Airi.
Dia tidak punya? Lalu darimana datangnya Aira?
"I... Ini pemberian temanku." Kataku. Lagi-lagi berbohong.
Aira tersenyum dingin padaku.
"Ayo kita masuk ke dalam. Aku sudah tidak sabar." Kata Airi.
Akhirnya kami berjalan memasuki gedung besar dengan kubah itu. Di dalam begitu sepi dan gelap. Hanya ada sedikit cahaya.
"Dimana teleskop yg dipakai untuk melihat bintang itu?" tanya Airi.
"Entahlah." Kataku.
Tiba-tiba, Aira mengangkat pisaunya dan hendak menusukkannya pada Airi. Pintu keluar sudah dia kunci. Jadi itulah tujuannya. Agar kami tidak bisa lari dan terkurung disini.
"A... Apa ini?" Tanya Airi panik.
"Jika kau lenyap, maka aku akan abadi Airi sayang." Kata Aira.
Aku hendak menolong Airi namun, Mia menahanku.
"Jangan lakukan itu Aira!" Teriakku.
Mia mengikatku di pagar pembatas. Dia tersenyum padaku.
"Kau juga hendak membunuhku Mia?!" Tanyaku sambil berteriak.
Dia tidak menjawab, dia hanya memegang daguku. Aku berusaha melepaskan diri.
"Mega..." Kata Mia lagi. Pelan.
Dia mengacungkan pisaunya.
"Maaf." Katanya.
Sebuah ciuman mendapat di keningku. Lagi.
Dia berdiri membelakangiku. Lalu bersiap menyerang Aira.
"Kau tau point keempat yang belum sempat aku sebutkan?" Katanya. "Keempat, aku tidak akan mampu membunuhmu. Karena keinginanmu yg paling dalam, adalah memiliki saudara. Dan tugasku adalah memenuhinya." Katanya tanpa menoleh kearahku.
"Yaa!" Teriaknya sambil berlari menyongsong Aira.
Pertarungan antara Mia dan Aira di mulai. Airi berlari mendekatiku, lalu melepaskan ikatanku.
Akhirnya Mia terjepit. Pisau yang di pegangnya terlepas.
"Mega, Airi pergi dari sini!" Teriaknya.
"Aku tak akan pergi meninggalkanmu sendiri Mia." Kataku sambil berusaha berdiri.
"Itukah kata-kata terakhirmu? Benar-benar lemah. Ku kira kau bisa diajak bekerja sama. Apakah kau tidak ingin abadi?" Kata Aira.
"Selama berada bersama Mega, kenangan yg dibuat besamanya, itulah yg akan abadi. Lagipula aku mencintai kakakku itu." Katanya.
Kerah bajunya masih di pegang dengan erat. Mia melirik ke arahku dan Airi.
"Mega! Cincinnya. Cincin Airi. Itu yg membuat Aira ada!" Teriak Mia.
Aku melihat cincin Airi. Aku berusaha melepasnya. Terlalu pas.
"Dasar mulut besar. Mati kau!" Teriak Aira.
Mia di tusuk, tepat di perutnya.
"Selamat tinggal Mega. Terima kasih." Kata Mia pelan.
Aku berhasil melepas cincin di lengan Airi. Aku menghampiri pisau Mia yg terlempar itu, lalu menusukkan pisau itu ke cincin Airi. Aira tersedot ke dalam cincin itu dan hilang. Tanpa jejak.
Airi pingsan. Aku menghampiri Mia yang masih tergeletak lemas.
"Mia, bangun! Aku masih membutuhkanmu. Saudaraku." Teriakku. Aku menangis.
Tiba-tiba Mia membuka mata. Tangannya, memegang pipiku.
"Maaf, Mega." Katanya sambil tersenyum untuk terakhir kalinya.
Tangannya terlepas dari pipiku. Dan, kalung liontin di leherku dilepasnya. Mia menghilang masuk ke dalam liontin itu lagi, tidak muncul lagi sejak saat itu.
***
"Selamat pagi Mega!" Sapa Airi di sekolah.
Ia sepertinya tidak ingat sama sekali dengan apa yg terjadi di Boscha. Semua kenangan itu lenyap dari ingatannya.
"Pagi juga." "Diantar ayah?" Tanyaku.
"Iya. Aku masuk ke kelas dulu yaa. Aku sudah terlambat. Lupa ada PR, mau lihat jawaban teman dulu. Hehe. Dah..." Kata Airi.
"Oke deh. Dah..." Kataku sambil melambaikan tangan.
Aku berjalan menuju ke kelas lalu duduk di kursiku.
"Sendirian lagi." Kataku.
Aku mengambil liontin di saku bajuku. Lalu ku buka. Masih ada fotoku dan foto Mia disana. Hanya saja aura gelapnya sudah hilang. Aku merindukannya.
Aku coba mengenakannya. Mengingat kenangan yg terjadi.
"Mega, pagi." Kata seseorang di sebelahku...
Aku menengok. Lalu tersenyum dan langsung memeluk orang tersebut. Ia tersenyum dan membalas pelukanku...
***Tamat***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar